Sabtu, 28 Juli 2012

Ibu adalah PAHLAWAN HIDUPKU

  Aku terlahir dari Rahimnya , ,
Suci , Kecil, Bagai tanpa Dosa
27 November 1993 , awal ku melihatnya, dan disekelilingnya
Aku dilahirkan ditengah-tengah keluarga yang penuh dengan kasih sayang..\
Bagiku itu adalah anugerah besar dari-Nya..
Aku juga amat sangat menyayanginya
Aku tau apa yang dia inginkan, dia selalu bilang :
Aku hanya ingin melihat anak-anak ku tersenyum bahagia 
hanya itu !!
Tapi Aku ??
entah berapa banyak permintaan ku kepadanya ??? :(
tak terhitung sudah !!!
keinginanku sama seperti dia
aku ingin melihat ibu ku bahagia
tapi jujur aku takut jika nanti dia sudah tidak di sampingku lagi :(
berdoa dan meminta kepada-Nya ,,
hanya itu yang bisa aku lakukan..
AKU SAYANG IBU
PAHLAWAN HIDUPKU

Rabu, 25 Juli 2012

Psikologi Pembelajaran Maematika


NAMA : NURUL HUDA
NIM : 11115102553
MATA KULIAH : PSIKOLOGI PENDIDIKAN MATEMATIKA
TANGGAL : 24-26 Juli 2012


                    1. Psikologi pembelajaran adalah suatu hal yang mutlak dikuasai oleh guru dan calon guru agar tujuan pembelajaran matematika yang telah direncanakan tercapai secara maksimal. Untuk mencapai tujuan pembelajaran tersebut, guru tidak hanya memperhatikan hakikat matematika tetapi juga psikologi pembelajaran matematika. 

a. Apa yang dimaksud psikologi pembelajaran matematika? Jelaskan! 

                    Pertama kita harus mengetahui dahulu apa itu PSIKOLOGI, apa itu PSIKOLOGI PEMBELAJARAN, dan PSIKOLOGI PEMBELAJARAN MATEMATIKA. Yang saya ketahui makna dari PSIKOLOGI adalah studi ilmiah tentang prilaku dan proses mental , sedangkan PSIKOLOGI PEMBELAJARAN adalah Pembelajaran antara guru dan siswa. Siswa bisa belajar efektif dan guru mengajar baik cabang psikologi yang terkhusus dalam cara memahami pengajaran, pembelajran, dalam lingkungan pendidikan. mengenai psikolgi pembelajaran matematika terutama adalah bagaimana seseorang belajar, tentang bagaimana orang tersebut melakukan atau melaksanakan suatu tugas dan tentang bagaimana orang tersebut bisa berkembangan. Pengertian tersebut dinyatakan oleh Resnick dan Ford (1984:3) yaitu: “Most people know psychology is concerned with how people learn, with how they perform tasjs, and with how they develop.” Meskipun begitu Resnik dan Ford mengajukan beberapa pertanyaan yang berkaitan dengan pembelajaran matematika, diantaranya: 

            * Daripada hanya membahas atau mengkaji tentang bagaimana seseorang berfikir ketika ia sedang mengerjakan tugasnya, mengapa kita tidak mengkaji bagaimana cara seseorang berfikir ketika ia sedang mengerjakan matematika? 
            * Daripada hanya membahas atau mengkaji bagaimana pemahaman konsep dapt berkembang di benak siswa, mengapa kita tidak mengkaji bagaimana tentang bagaimana pemahaman konsep matematika dapat berkembang dibenak siswa? Psikologi pembelajaran matematika menurut Resnick dan Ford (1984:4) adalah ilmu yang mengkaji tentang struktur atau susunan bangunan matematika itu sendiri dan mengkaji juga tentang bagaimana seseorang itu berfikir (think), bernalar (reason), dan bagaimana ia menggunakan kemampuan intelektualnya tersebut. Pada akhir-akhir ini, banyak ahli pembelajaran matematika muncul, diantara nya Resnick dan Ford yang telah menulis buku “The Psyhology of Mathematics for Instruction” dan juga Orton yang menulis buku “Learning Mathematics”. Kedua buku tersebut membahas teori belajar yang langsung dikaitkan dengan materi matematika. 

b. Jelaskan secara singkat, tentang hakikat pembelajaran matematika! 

                  Sebelum saya menjelaskan secara singkat tentang hakikat pembelajaran matematika , terlebih dahulu kita harus memahami apa itu matematika dan apa itu hakikat matematika. Kata matematika berasal dari perkataan Latin mathematika yang mulanya diambil dari perkataan Yunani mathematike yang berarti mempelajari. Perkataan itu mempunyai asal katanya mathema yang berarti pengetahuan atau ilmu (knowledge, science). Kata mathematike berhubungan pula dengan kata lainnya yang hampir sama, yaitu mathein atau mathenein yang artinya belajar (berpikir). Jadi, berdasarkan asal katanya, maka perkataan matematika berarti ilmu pengetahuan yang didapat dengan berpikir (bernalar). Matematika lebih menekankan kegiatan dalam dunia rasio (penalaran), bukan menekankan dari hasil eksperimen atau hasil observasi matematika terbentuk karena pikiran-pikiran manusia, yang berhubungan dengan idea, proses, dan penalaran (Russeffendi ET, 1980 :148). Matematika terbentuk dari pengalaman manusia dalam dunianya secara empiris. Kemudian pengalaman itu diproses di dalam dunia rasio, diolah secara analisis dengan penalaran di dalam struktur kognitif sehingga sampai terbentuk konsep-konsep matematika supaya konsep-konsep matematika yang terbentuk itu mudah dipahami oleh orang lain dan dapat dimanipulasi secara tepat, maka digunakan bahasa matematika atua notasi matematika yang bernilai global (universal). Konsep matematika didapat karena proses berpikir, karena itu logika adalah dasar terbentuknya matematika. Hakekat matematika adalah kumpulan ide-ide yang bersifat abstrak, terstruktur dan hubungannya diatur menurut aturan logis berdasarkan pola pikir deduktif. Belajar matematika tidak ada artinya jika hanya dihafalkan saja. Dia baru mempunyai makna bila dimengerti. Orton (1991: 154) mengemukakan bahwa hendaknya siswa tidak belajar matematika hanya dengan menerima dan menghafalkan saja, tetapi harus belajar secara bermakna, belajar bermakna merupakan suatu cara belajar dengan pengertian dari pada hafalan. Soedjadi (1985) menyatakan bahwa untuk menguasai matematika diperlukan cara belajar yang berurutan, setapak demi setapak dan bersinambungan. Hal ini juga sejalan dengan pendapat Hudojo (1988: 4) yang mengatakan bahwa untuk mempelajari matematika haruslah bertahap, berurutan, serta mendasarkan kepada pengalaman belajar yang lalu. Lebih lanjut dikatakan bahwa proses belajar matematika akan terjadi dengan lancar bila belajar itu dilakukan secara kontinu. Hudojo (1988: 1) mengemukakan bahwa seseorang dikatakan belajar bila diasumsikan dalam diri orang itu terjadi suatu proses kegiatan yang mengakibatkan perubahan tingkah laku. Selanjutnya Winkel (1989: 36) mendifinisikan belajar adalah suatu aktivitas mental/psikis yang berlangsung dalam interaktif dengan lingkungan, yang menghasilkan perubahan-perubahan dalam pengetahuan, pemahaman, keterampilan dan nilai sikap. Slameto (1980: 2) mengemukakan bahwa secara psikologis belajar merupakan suatu proses perubahan yaitu perubahan tingkah laku sebagai hasil interaksi dengan lingkungannya lebih jauh dikatakan bahwa perubahan tingkah laku dalam belajar adalah: (1) perubahan ini terjadi secara sadar, (2) perubahan dalam belajar bersifat kontinu dan fungsional, (3) perubahan dalam belajar bersifat/bernilai positif dan aktif, (4) perubahan dalam belajar bukan bersifat sementara, dan (5) perubahan belajar bertujuan dan terarah. Sedang Rusyan (1989: 8) mengemukakan pendapatnya tentang belajar, sebagai berikut: belajar dalam arti yang luas adalah proses perubahan tingkah laku yang dinyatakan dalam bentuk penguasaan, penggunaan, dan penilaian mengenai sikap dan nilai-nilai, pengetahuan dan kecakapan dasar yang terdapat dalam berbagai bidang studi, atau lebih luas lagi dalam berbagai aspek kehidupan atau pengalaman yang terorganisasi. Dari beberapa pendapat di atas, dapatlah disimpulkan bahwa belajar adalah suatu proses perubahan tingkah laku yang bersifat positif dalam diri seseorang. Perubahan tingkah laku yang diakibatkan oleh belajar dapat ditunjukkan dalam berbagai bentuk, misalnya bertambahnya pengetahuan, pemahaman, keterampilan dan perubahan sikap. Salah satu contoh hasil dari usaha belajar Bilangan Pecahan adalah dari belum memiliki pengetahuan tentang Bilangan Pecahan menjadi memiliki pengetahuan tentang Bilangan Pecahan. 

 c. Jelaskan kegunaan/manfaat "hakikat matematika dan psikologi pembelajaran matematika" dalam memberikan fasilitas belajar siswa!

                     Dapat kita simpulkan dari penjelasan sebelumnya , bahwa manfaat hakikat matematika dan psikologi pembelajaran matematika diantaranya adalah siswa dapat menyelesaikan permasalahan dan kegiatan dalam hidup yang diselesaikan dengan menggunakan Ilmu Matematika seperti menghitung, mengukur, dan lain-lain. Matematika digunakan manusia untuk memecahkan masalahnya dalam kehidupan sehari-hari. 
 Contoh : 
~ Matematika sebagai Ilmu yang lain, misal pada biologi, fisika dan lain-lain ~ Matemtika dapat digunakan dalam kehidupan sehari-hari, misal pada perdagangan, pengukuran, ramalan / perkiraan, statistika, dan sebagainya
 ~ Memecahkan persoalan dunia nyata 
 ~ Mengadakan transaksi jual beli, maka manusia memerlukan proses perhitungan matematika yang berkaitan dengan bilangan dan operasi hitungnya
 ~ Menghitung luas daerah
 ~ Menghitung jarak yang ditempuh dari suatu tempat ke tempat yang lain
 ~ Menghitung laju kecepatan kendaraan Menyadari akan peran penting matematika dalam kehidupan, maka matematika selayaknya merupakan kebutuhan dan menjadi kegiatan yang menyenangkan. Sebagaimana dari tujuan yaitu melatih siswa berfikir dan bernalar dalam menarik kesimpulan, mengembangkan aktifitas kreatif yang melibatkan imajinasi, penemuan, membuat prediksi dan dugaan serta mencoba-coba, mengembangkan kemampuan memecahkan masalah dan mengembangkan kemampuan mengkomunikasikan gagasan atau ide melalui tulisan, pembicaraan lisan, catatan, grafik peta atau diagram. Oleh karena itu setiap siswa perlu memiliki penguasaan matematika yang merupakan penguasaan kecakapan matematika untuk dapat memahami dunia dan berhasil dalam kariernya. 

 2. Belajar matematika melibatkan suatu hirarki dari konsep-konsep tingkat lebih tinggi yang dibentuk atas dasar apa yang telah terbentuk sebelumnya. Jadi, asumsi ini berarti konsep-konsep matematika tingkat lebih tinggi tidak mungkin bisa diajarkan bila prasyarat yang mendahului konsep-konsep itu belum dipelajari

 a. Apa yang dimaksud Hirarki Belajar Matematika? Jelaskan! 

                       Sebelum saya menjelaskan apa yang dimaksud dengan Hirarki Belajar Matematika , terlebih dahulu kita harus mengetahui Apa itu Hirarki Belajar , nah berikut penjelasan berdasarkan pengetahuan dan sumber yang saya dapatkan Apa itu Hirarki Belajar? Para guru matematika, fisika, kimia, bahasa inggris ataupun mata pelajaran lainnya tentunya sudah mengalami sendiri bahwa satu Standar Kompetensi diajarkan mandahului Standar Kompetensi lainnya, dan satu Kompetensi Dasar diajarkan mandahului Kompetensi Dasar lainnya. Pada dasarnya, pengetahuan yang lebih sederhana harus dikuasai para siswa terlebih dahulu dengan baik agar ia dapat dengan mudah mempelajari pengetahuan yang lebih rumit. Pertanyaan yang sering muncul adalah mengapa suatu Standar Kompetensi harus diajarkan mendahului Standar Kompetensi lainnya? Atas dasar apa penentuan itu? Apakah hanya didasarkan pada kata hati para guru dan pakar saja? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, Gagne memberikan alasan pemecahan dan pengurutan materi pembelajaran dengan selalu menanyakan pertanyaan ini: “Pengetahuan apa yang lebih dahulu harus dikuasai siswa agar ia berhasil mempelajari suatu pengetahuan tertentu?”. Setelah mendapat jawabanya, ia harus bertanya lagi seperti pertanyaan yang di atas tadi untuk mendapatkan prasarat yang harus dikuasai dan dipelajari siswa sebelum ia mempelajari pengetahuan tersebut. Begitu seterusnya sampai didapatkan urut-urutan pengetahuan dari yang paling sederhana sampai yang paling kompleks. Dengan cara seperti itulah kita akan mendapatkan hirarki belajar. Apa yang dipaparkan di atas dapat diperjelas dengan tulisan Resnick dan Ford (1984) berikut ini: “A hierarchy is generated by considering the target task and asking: “ What would (this child) have to know and how to do in order to perform thisk task…?” Karena itu, hirarki belajar menurut Gagne harus disusun dari atas ke bawah atau top down (Orton,1987). Dimulai dengan menempatkan kemampuan, pengetahuan, ataupun keterampilan yang menjadi salah satu tujuan dalam proses pembelajaran di puncak dari hirarki belajar tersebut, diikuti kemampuan, ketrampilan, atau pengetahuan prasyarat (prerequisite) yang harus mereka kuasai lebih dahulu agar mereka berhasil mempelajari ketrampilan atau pengetahuan di atasnya itu. Hirarki belajar dari Gagne memungkinkan juga prasyarat yang berbeda untuk kemampuan yang berbeda pula (Orton, 1987). Sebagai contoh, pemecahan masalah membutuhkan aturan, prinsip dan konsepkonsep terdefinisi sebagai prasyaratnya, yang membutuhkan konsep konkret sebagai prasyarat berikutnya, yang masih membutuhkan kemampuan membedakan (discriminations) sebagai prasyarat berikutnya lagi. b. Buatlah contoh implementasi hirarki belajar matematika pada salah satu konsep matematika SMP/SMA/Perguruan Tinggi! Contoh yang saya ambil disini adalah Seorang siswa SMP yang baru belajar mengalikan dua bilangan antara 10 sampai 100 harus memiliki pengetahuan prasyarat awal seperti dapat menulis dan membilang angka 10 sampai 00 secara berurutan. Di samping itu, ia harus menentukan banyaknya suatu kelompok benda dengan tepat. Menurut seorang guru SD, sering terjadi seorang anak, ketika membilang dengan benda konkret, ia mengucapkan “empat” padahal jarinya menunjuk benda ketiga atau malah benda kelima. Di tingkat perguruan tinggi, seorang mahasiswa tidak akan mungkin mempelajari integral rangkap tiga jika ia tidak memiliki bekal yang cukup tentang integral biasa. Tentunya hal yang sama akan terjadi di bangku SMP. Di samping itu, matematika sudah dikenal sebagai mata pelajaran yang sulit. Pendapat seperti ini harus dikikis sedikit demi sedikit oleh setiap guru matematika. Karenanya, perlu bagi penulis untuk mengingatkan para guru matematika bahwa di saat menemui para siswa yang mengalami kesulitan atau melakukan kesalahan, cobalah untuk berpikir jernih dalam menetapkan penyebab kesulitan maupun kesalahan siswa tersebut dan dapat menggunakan teori tentang hirarki belajar ini sebagai salah satu alat pentingnya. Sekali lagi, seorang siswa tidak akan dapat mempelajari atau menyelesaikan tugas tertentu jika mereka tidak memiliki pengetahuan prasyaratnya. Karena itu, untuk memudahkan para siswa selama proses pembelajaran di kelas, proses tersebut harus dimulai dengan memberi kemudahan bagi para siswa dengan mengecek, mengingatkan kembali, dan memperbaiki pengetahuan-pengetahuan prasyaratnya. Sebagai penutup, penulis ingin menyatakan bahwa tugas guru matematika memanglah berat, namun sangat mulia dan akan sangat menentukan kemajuan bangsa ini di masa yang akan datang. 

 3. Prinsip dan karakteristik belajar menurut Aisubel adalah belajar bermakna dan belajar hafalan.

 a. Apa perbedaan belajar bermakna dan belajar hafalan? Manakah yang lebih baik untuk diterapkan dalam pembelajaran matematika? Beri alasan!

                       Belajar Bermakna : Belajar bermakna adalah belajar di mana siswa harus mengkaitkan konsep baru dengan yang diperolehnya dalam bentuk proposisi (hubungan antar konsep) yang benar. Ausubel (dalam Dahar, 1988) menyatakan belajar bermakna merupakan suatu proses dikaitkannya informasi baru pada konsep-konsep relevan yang terdapat dalam struktur kognitif seseorang. Walaupun kita tidak mengetahui mekanisme biologi tentang memori atau disimpankannya pengetahuan, kita mengetahui bahwa informasi disimpan di daerah-daerah tertentu dalam otak. Seorang guru biologi dalam mengajarkan konsep-konsep biologi kepada siswa sebaiknya dapat memahami suatu konsep (Amin, 1994). Konsep terbentuk bila dua atau lebih objek-objek yang dapat dibedakan atau kejadian-kejadian/ situasi-situasi telah dikelompokkan bersama dan terpisah dari obyek-objek atau kejadian-kejadian atau situasi-situasi lain berdasarkan ciri-ciri umum, bentuk dan sifatnya. Konsep merupakan suatu gagasan atau ide yang didasarkan pada pengalaman (empiris) tertentu dan relevan dan yang dapat digeneralisasikan (Amin, 1994). Klasifikasi konsep dan sistem konseptual sangat penting karena isu-isu mutakhir yang menantang para guru adalah mengenai konsep-konsep esensial dan subkonsep-subkonsep apa yang harus diajarkan, dalam urutan atau rangkaian yang bagaimana, dan kepada siapakah harus diajarkan sesuai dengan minat, kebutuhan dan kemampuan siswa. Apa yang dimaksud disini ialah cara penalaran untuk mengklasifikasikan konsep kedalam kategori-kategori yang bermakna, dan cara untuk menghubungkan kategori-kategori tersebut pada kemampuan intelektual para siswa sehingga mereka tidak hanya memperoleh pengertian yang signifikan tentang makna konsep, tetapi pengalaman belajar itu sendiri juga akan membantu siswa dalam menumbuhkan dan mengembangkan kemampuan penalarannya. Konsep itu saling berhubungan satu sama lain dalam sistem yang dinamik yang disebut sistem-sistem konseptual. Pengajaran sistem konseptual dalam bidang biologi harus melibatkan urutan atau rangkaian pengenalan tentang konsep-konsep biologi dalam cara yang bermakna dan relevan. Salah satu strategi pengajaran sistem konseptual ini disebut teknik pemetaan konsep. Tujuan teknik pemetaan konsep adalah untuk memungkinkan guru dan siswa menjadi lebih kreatif dan ekspresif (Amin, 1994). Konstruksi peta konsep umumnya dibuat oleh guru yang berpengalaman dan menguasai materi biologi yang utuh. Teknik pemetaan konsep memberikan suatu hubungan penting antara teori belajar dan mengajar, khususnya teori belajar dan mengajar biologi. Guru hendaknya menyadari bahwa belajar biologi yang efektif dan bermakna itu dapat dibangun antara konsep-konsep baru dengan konsep-konsep yang telah terbentuk di dalam struktur kognitif siswa. Dengan demikian, penggunaan teknik pemetaan konsep dalam proses belajar mengajar biologi di kelas dapat me-ngurangi kepasifan siswa dan memacu peningkatan minat serta partisipasi siswa dalam proses belajar mengajar yang bermakna (Amien, 1990). Bila siswa mengatahui bahwa mereka akan terlibat dalam suatu kegiatan belajar seperti pemetaan konsep, maka perhatiannya akan lebih besar dan menjadi lebih berminat untuk melibatkan diri dalam proses belajarnya sendiri. Strategi yang menggunakan peta konsep yang disiapkan oleh guru berupa ekspositori dan berorientasi pada hasil (produk), sedangkan strategi yang menggunakan peta konsep yang dibuat oleh siswa berorientasi pada proses yang memusatkan pada penemuan siswa secara individual atau kelompok (Amien, 1990). Menurut Ausubel (dalam Arifin, 1995) siswa mengasimilasi pelajaran di-lakukan dengan cara-cara seperti pada Tabel 2.1 berikut. Tabel 2.1. Bentuk-Bentuk Belajar Menurut Ausubel Dimensi II Dimensi I Hafalan Bermakna Penerimaan Materi disajaikan dalam bentuk final Siswa menghafal materi yang disajikan Materi disajikan dalam bentuk final Siswa memasukan informasi kedalam struktur kognitif Penemuan Materi ditemukan oleh siswa Siswa menghafal materi Siswa menemukan materi Siswa memasukan informasi kedalam struktur kognitif Selanjutnya Ausubel menjelaskan perbedaan antara belajar bermakna dengan belajar hafalan, belajar bermakna merupakan suatu proses dalam belajar yaitu informasi baru dikaitkan pada konsep-konsep relevan yang telah ada dalam struktur kognitif seseorang. Sedangkan belajar secara hafalan terjadi jika siswa mempelajari konsep-konsep baru secara semuanya dan tidak dihubungkan dengan konsep-konsep relevan yang sudah diketahuinya. Belajar bermakna berarti belajar dengan memperoleh pemberitahuan yang bermakna. Menurut Ausubel dalam Amin (1990) prasyarat-prasyarat dari belajar bermakna adalah sebagai berikut: (1) materi yang akan diepalajari harus bermakna secara potensial yaitu dengan memperhatikan kemampuan awal siswa, dan (2) anak yang akan belajar atau siswa harus bertujuan untuk melaksanakan belajar bermakna, jadi mempunyai kesiapan dan niat untuk belajar bermakna (meaningful learning set). Tujuan siswa merupakan faktor utama dalam belajar bermakna. Selanjutnhya kebermaknaan materi pelajaran secara potensial tergantung pada dua faktor: (1) materi ini harus memiliki kebermaknaan logis, (2) gagasan-gagasan yang relevan harus terdapat dalam struktur kognitif siswa. Materi yang memiliki kebermaknaan logis merupakan materi yang non-arbitrat dan substantif. Agar terjadi belajar bermakna, materi pelajaran harus bermakna secara logis, siswa harus bertujuan untuk memaukkan materi itu ke dala struktur kognitifnya, dan dalam struktur kognitif anak harus terdapat unsur-unsur yang cocok untuk mengkaitkan atau menghubungkan materi baru secara non-arbitrer dan substantif. Jika salah satu komponen ini tidak ada, maka materi itu kalaupun, dipelajari, akan dipelajari secara hafalan (Rosser dalam Dahar, 1989). Sukmadinata (2001) menyarankan agar pembelajaran dapat bermakna bagi siswa, maka ada dua persyaratan yang harus dipenuhi yaitu: pertama, suatu materi memiliki kebermaknaan logis berarti materi tersebut dapat dihubungkan dengan konsep-konsep yang telah ada pada siswa, maka siswa harus memiliki materi yang sesuai dengan hal yang akan dipelajari. Bila siswa dalam struktur kognitifnya telah memiliki materi, ide-ide yang sesuai, yang memungkinkan materi baru dapat dihubungkan padanya secara secara substantif dan non-arbitrer, maka materi tersebut telah memiliki kebermaknaan potensial. Kedua, sesuai dengan materi yang memiliki kebermaknaan potensial, sebab siswa dapat memberikan makna, hal ini sangat tergantung pada kemauan siswa untuk memberi makna atau tidak. Apabila siswa mempunyai kesiapan untuk memberi makna maka terjadilah belajar bermakna (meaningful learning). Sedangkan Ausubel dan Novak (dalam Susilo, 1987) menjelaskan cara belajar bermakna yang baik ialah melalui subsumption yaitu dengan mengkaitkan konsep baru yang khusus ke konsep lain yang lebih umum atau lebih inklusif, yang membentuk sebagian dari struktur pengetahuan siswa saat itu, yaitu yang sudah ada dalam ingatannya. Pada saat terjadi sub-sumption itu, struktur pengetahuan siswa menjadi lebih terdiferensiasi, sehingga mempermudah terjadinya asimilasi konsep-konsep lain yang lebih baru. Pembelajaran Hafalan Pembelajaran hafalan ini merupakan kebalikan dari pada pembelajaran bermakna. Pembelajaran hefalan ini selalu menekankan bahkan sering kali lebih mengandalkan daya ingat saja terhadap sesuatu atau hal yang baru saja di dengar atau yang telah dialami. Dalam hal ini pembelajaran hafalan jarang bahkan tidak pernah mengkaitkat atau menghubungkan dengan informasi baru pada konsep-konsep relevan yang terdapat dalam struktur kognitif. Ausubel menyatakan hal berikut sebagaimana dikutip Bell (1978: 132): “…, if the learner’s intention is to memorise it verbatim, i,e., as a series of arbitrarily related word, both the learning process and the learning outcome must necessarily be rote and meaningless”. Intinya, jika seorang anak, berkeinginan untuk mengingat sesuatu tanpa mengaitkan hal yang satu dengan hal yang lain maka baik proses maupun hasil pembelajarannya dapat dinyatakan sebagai hafalan dan tidak akan bermakna sama sekali baginya. Contoh yang dapat dikemukakan tentang belajar hafalan ini adalah beberapa siswa SD kelas 1 ataui 2 yang dapat mengucapkan: “Ini Budi. Ini Ibu Budi,” namun ia tidak dapat menentukan sama sekali mana yang “i” dan mana yang “di”. Contoh lain untuk labih dari belajar menghafal adalah siswa yang dapat mengingat dan menyatakan rumus luas persegipanjang adalah l = pl, namun ia tidak bisa menentukan luas suatu persegi panjang karena ia tidak tahu arti lambang l, p, dan l. Salah satu kelemahan dari belajar hafalan atau belajar membeo telah ditunjukkan Nani di mana jawaban yang benar, yaitu 1 + 1 = 2, diubah dengan jawaban yang lain ketika jawaban tersebut pura-pura dianggap sebagai jawaban yang salah oleh bapaknya. Intinya, si Nani tidak memiliki dasar yang kuat untuk meyakinkan dirinya sendiri, apalagi meyakinkan orang lain bahwa 1 + 1 = 2. Lebih celaka lagi kalau temannya tadi mengajari Nani bahwa 1 + 1 = 4 dan 2 + 2 = 6. Tidak mustahil jika ia mengikutinya. Di samping itu, ia tidak bisa menjawab soal baru seperti 1 + 2 maupun 2 + 1 karena temannya belum mengajari hal itu. Kemudian manakah yang lebih untuk diterapkan dalam pembelajaran matematika : Adalah Belajar bermakna dari pada belajar hafalan, karena bisa kita simpulkan Pembelajaran bermakna membuat siswa lebih lama untuk mengingat dengan materi yang telah dikuasainya dari pada pembelajaran Hafalan. Pembelajaran Hafalan hanya membuat siswa ingat seketika saja akan materi yang dikuasainya, seiring berjalanya waktu, itu semua akan hilang dengan sendirinya, jadi lebih baik menerapkan Pembelajaran Bermakna dari pada Pembelajaran Hafalan b. Berikan contoh implementasi belajar bermakna pada materi pembelajaran matematika? Contoh implementasi belajar bermakna pada materi pembelajaran matematika adalah Kita mengajak siswa kelapangan tempat kejadian itu berlangsung, contohnya kita mengajak siswa kepasar untuk mengamati proses jual beli, hal ini untuk mengajarkan siswa dalam pembelajaran Aritmatika Sosial, contohnya mengenai harga jual dan beli , diskon, untung dan rugi dan lain-lainnya. 

4. Teori perkembangan intelektual siswa yang dikemukakan Jean Piaget dirasakan sangat cocok untuk pengajaran matematika di sekolah, sebab teori Piaget itu berhubungan dengan bagaimana siswa berfikir dan bagaimana berfikir itu berubah sesuai dengan usianya. 

a. Implementasikan gagasan Piaget pada proses pembelajaran matematika di sekolah sesuai dengan teori perkembangan itu sendiri! (Tidak dibenarkan menggunakan implementasi pada makalah) 

                     Implementasi gagasan piaget pada proses pembelajaran matematika contohnya dalam pembelajaran matematika disekolah yaitu pada pembelajaran Aljabar. Tingkatan-tingkatan belajar aljabar siswa dari berada pada tingkat sekolah dasar sampai perguruan tinggi mengalami perkembangan yang bertahap, contohnya yaitu: Pada tingkat Sekolah Dasar (SD) Siswa diajarkan pada tingkatan yang paling dasar tentang Aljabar, yaitu berawal dari sekedar mengajarkan tentang pengenalan tentang angka dan selanjutnya diajarkan tentang penjumlahan, pengurangan, perkalian, hingga pembagian dengan perumpamaan benda sekitar siswa yang bertujuan agar siswa dapat cepat mengerti dan dapat mengerjakan soal dengan mudah. 
Contohnya: 
3 Manggis + 5 Manggis = ... 
19 Jeruk – 10 jeruk =... 
27 Rambutan : 3 Rambutan =... 
3 anggur × 3 anggur =... 

                    Pada tingkatan SMP dan SMA : Ketika siswa berada di SMP pembelajaran tentang aljabar akan lebih mendalam dibandingkan pada tingkat SD, yaitu ketika pada tingkat SD pembelajaran yang dimulai pengenalan angka dan samapai kepada pengerjaan soal yang diumpamakan kepada benda yang mudah dimengerti oleh siswa berbeda dengan pada tingkat SMP. Yaitu pada tingkat SMP angka yang akan dipelajari tidak semudah pada tingkat SD, begitu juga pada tingkat SMA, pembelajaran tentang aljabar yang diajarkan pada tingkat SMA lebih mendalam lagi dibanding pada tingkat SD dan SMP. Pada tingkat SMP pembelajaran aljabar menggunakan pengubah(Variabel). 
Contohnya: 
 Pada Persamaan Linear satu Variabel:
 a+6 = 8 ( a sebagai variabel) 
 5+6q=17 ( q sebagai variabel) 
 Pada Persamaan Linear Dua Variabel: 
 19a+10 b= 27 
 m+5n=30 

                     Pada tingkat SMP telah belajar juga tentang penerapan sistem persamaan linear dua variabel, contohnya kasus-kasus yang ada dalam kehidupan sehari-hari yaitu yang berkaitan dengan aritmatika sosial. Misalnya menentukan harga satuan barang, menentukan panjang atau lebar sebidang tanah, dan lain sebagainya. Pada tingkat SMA, pembelajaran aljabar akan lebih berkembang dan mendalam lagi, yaitu pada tingkat SMA diajarkan tentang Sistem persamaan linear dan kuadrat (SPLK), Sistem dua persamaan kuadrat (SDPK), Sistem persamaan dengan tiga variabel. Pada tingkat Perguruan tinggi Pembelajaran aljabar pada tingkat perguruan tinggi yaitu dengan pengulangan kembali pembelajaran yang telah di ajarkan. 

b. Apa yang dimaksud dengan asimilasi dan akomodasi? Berilah contoh dalam pembelajaran matematika! 

                          Asimilasi adalah proses kognitif dimana seseorang mengintegrasikan persepsi, konsep atau pengalaman baru kedalam skema atau pola yang sudah ada dalam pikirannya,(penerapan informasi baru dalam pikiran) Contoh dalam pembelajaran matematika yaitu dalam pembelajaran matematika tidak dipungkiri mempunyai banyak cara dalam penyelesaiannya, dalam satu soal akan ada banyak rumus untuk menyelesaikannya, oleh karena itu asimilasi dalam pembelajran matematika yaitu cara sendiri untuk menjawab soal atau menggunakan logika pemikiran sendiri dalam menyelesaikan soal tersebut. Akomodasi adalah menyusun kembali struktur pikiran karena adanya informasi baru atau proses mental yang meliputi pembentukan skema baru yang cocok dengan rangsangan baru atau memodifikasikan skema yang sudah ada sehingga cocok dengan rangsangan yang ada. Contoh dalam pembelajaran matematika yaitu contohnya dalam mencari penyelesaian sisitem persamaan linear dua variabel, kita ketahui bahwa cara mencari penyelesaian dari SPLDV mempunyai berbagai cara, jadi terserah kita menggunakan cara yang mana, asal tidak melenceng dari konsep yang telah ada. 

 5. Teori perkembangan menurut Dewey yaitu mengaitkan bahan pelajaran dengan situasi dunia nyata dan mendorong siswa menghubungkan yang dipelajari dengan kehidupan sehari-hari, pengalaman sesungguhnya dan penerapannya/manfaatnya. Implementasikan teori belajar Dewey pada salah satu materi pembelajaran matematika dengan menggunakan salah satu pendekatan yang kamu pilih dibawah ini: 
a. Pendekatan pemecahan masalah.
b. Pendekatan Open Ended. 
c. Pendekatan berbasis konstruktivisme. 
d. Pendekatan matematika realistik. 
e. Pendekatan kontekstual. 
f. Pendekatan Problem Posing. 
Sebelum mengimplementasikan, jelaskan secara singkat tentang pendekatan yang kamu pilih! 
     
                        Pendekatan Kontekstual Definisi pembelajaran kontekstual secara umum masih belum disepakati oleh para ahli, tetapi tentang dasar dan unsur-unsur kuncinya lebih banyak yang mereka sepakati. Pembelajaran kontekstual sebagai terjemahan Contextual Teaching and Learning (CTL) memiliki dua peranan dalam pendidikan yaitu sebagai filosofi pendidikan dan sebagai rangkaian kesatuan dari strategi pendidikan. Sebagai filosofi pendidikan, CTL mengasumsikan bahwa peranan pendidik adalah membantu peserta didik menemukan makna dalam pendidikan dengan cara membuat hubungan antara apa yang mereka peroleh di dunia nyata dengan yang mereka pelajari di sekolah untuk kemudian menerapkan pengetahuan tersebut di dunia nyata. Dengan demikian, inti pembelajaran kontekstual adalah melibatkan situasi dunia nyata sebagai sumber maupun terapan materi pelajaran. Pembelajaran kontekstual sebenarnya bukanlah ide baru. Pembelajaran tersebut berakar dari filosofi yang dikembangkan oleh John Dewey yang mengemukakan bahwa peserta didik akan belajar dengan baik, ketika apa yang dipelajarinya dikaitkan dengan apa yang mereka ketahui dan ketika mereka secara aktif belajar sendiri. Dalam pembelajaran kontekstual, terdapat beberapa ciri, yaitu:
 a. Pembelajaran aktif: peserta didik diaktifkan untuk mengkontsruksi pengetahuan dan memecahkan masalah. 
b. Multi konteks: pembelajaran dalam konteks yang ganda akan memberikan peserta didik pengalaman yang dapat digunakan untuk mempelajari dan mengidentifikasi ataupun memecahkan masalah dalam konteks yang baru (terjadi transfer). 
c. Kerjasama dan diskursus: peserta didik belajar dari orang lain melalui kerjasama, diskursus (penjelasan-penjelasan) kerja tim dan mandiri (self reflection). 
d. Berhubungan dengan dunia nyata: pembelajaran yang menghubungkan dengan isu-isu kehidupan nyata melalui kegiatan pengalaman di luar kelas dan simulasi. 
e. Pengetahuan prasyarat: pengalaman awal peserta didik dan situasi pengetahuan yang didapat mereka akan berarti atau bernilai dan nampak sebagai dasar dalam pembelajaran. 
f. Pemecahan masalah: berpikir tingkat tinggi yang diperlukan dalam memecahkan masalah nyata harus ditekankan pada kebermaknaan memorasi dan pengulangan-pengulangan. 
g. Mengarahkan sendiri (self-direction): peserta didik ditantang dan dimungkinkan untuk membuat pilihan-pilihan, mengembangkan alternatif-laternatif, dan diarahkan sendiri. Dengan demikian mereka bertanggung jawab sendiri dalam belajarnya (Aisyah, 2007). Menerapkan CTL dalam suatu pembelajaran pada prisipnya sama saja dengan menciptakan suatu pembelajaran yang menantang daya cipta siswa untuk menemukan informasi baru dalam pembelajaran. Di dalam Depdiknas (2003) disebutkan bahwa ada tujuh prinsip pembelajaran CTL, yaitu: (1) kontsruktivis (constructivism), (2) inkuiri (inquiry), (3) bertanya (questioning), (4) masyarakat belajar (learning community), (5) pemodelan (modeling), (6) refleksi (reflection) dan (7) penilaian yang sebenarnya (authentic assestment). (1) Kontsruktivisme (Constructivism) Siswa membangun pemahaman oleh diri sendiri dari pengalaman-pengalaman baru berdasarkan pengalaman awal. Pengalaman awal selalu merupakan dasar/tumpuan yang digabung dengan pengalaman baru untuk mendapatkan pengalaman baru. Pemahaman yang mendalam dikembangkan melalui pengalaman yang bermakna. (2) Penemuan (Inquiry) Kegiatan pembelajaran dilakukan dengan induktif, diawali dengan pengamatan dalam rangka memahami suatu konsep. Dalam praktik, pembelajaran melewati siklus kegiatan mengamati, bertanya, menganalisis, dan merumuskan teori, baik secara individual maupun secara bersama-sama dengan temannya. Penemuan juga merupakan aktivitas untuk mengembangkan dan sekaligus menggunakan keterampilan berpikir kritis siswa. (3) Bertanya (Questioning) Pertanyaan merupakan komponen penting dalam pembelajaran kontekstual. Pertanyaan merupakan alat pembelajaran bagi guru untuk mendorong, membimbing, dan menilai kemampuan berpikir siswa. Pertanyaan juga digunakan oleh siswa selama melaksanakan kegiatan yang berbasis penemuan. (4) Masyarakat belajar (Learning Community) Proses pembelajaran berlangsung dalam situasi sesama siswa saling berbicara dan menyimak, berbagi pengalaman dengan orang lain. Bekerja sama dengan orang lain untuk menciptakan pembelajaran siswa aktif lebih baik jika dibandingkan dengan belajar sendiri yang mendidik siswa untuk menjadi individu yang egoistis. (5) Pemodelan (Modeling) Aktivitas guru di kelas memiliki efek model bagi siswa. Jika guru mengajar dengan berbagai variasi metode dan teknik pembelajaran, secara tidak langsung siswa pun akan meniru metode atau teknik yang dilakukan guru tersebut. Kondisi semacam ini akan banyak memberika manfaat bagi guru untuk mengarahkan siswa melakukan sesuatu yang diinginkannya melalui pendemonstrasian cara yang diinginkan tersebut. (6) Refleksi (Reflection) Salah satu pembeda pendekatan kontekstual dengan pendekatan tradisional adalah cara-cara berpikir tentang sesuatu yang telah dipelajari oleh siswa. Dalam proses berpikir itu, siswa dapat merevisi dan merespon kejadian, aktivitas, dan pengalaman mereka. (7) Penilaian yang Sebenarnya (Authentic Assestment) Penilaian autentik ini bersifat mengukur produk pembelajaran yang bervariasi, yaitu pengetahuan dan keterampilan serta sikap siswa. Penilaian ini juga tidak hanya melihat produk akhir, tetapi juga prosesnya. Instruksi dan pertanyaan-pertanyaannya disusun yang kontekstual dan relevan. 

6. Dienes menterjemahkan ide-ide matematika ke dalam "permainan". Siswa-siswa menguasai ide-ide matematika melalui permainan. Desainlah sebuah permainan matematika yang berguna untuk mengajarkan sebuah konsep metematika sehingga siswa-siswa dapat menguasai konsep matematika tersebut! 

                         Berikut adalah sebuah permainan yang bisa saya kemukakan berdasarkan sumber yang saya dapat untuk membantu mengajarkan sebuah konsep matematika sehingga siswa-siswi dapat menguasai konsep matematika yang dipelajarinya tersebut Seorang guru menyuruh tiap murid menuliskan hitungan sesuai dengan suruhannya tanpa mengatakan apa yang dihitungnya. Suruhan tersebut adalah demikian. “Tulislah bilangan banyak adikmu” 
 “Tambah itu dengan tiga” 
 “Kalikan dua”
 “Sekali lagi, kalikan enam.” 
 “Sekarang, bagi empat” 
 “Terakhir, kurangi delapan” 

 Kemudian guru bertanya kepada Budi.
 Guru : “Berapa hasil akhir yang kamu peroleh?” 
 Budi : “Sepuluh.” 
 Guru : “Jadi adikmu tiga orang, bukan?” 
 Budi : “Ya, Bu.” 

                         Semua anak yang menyebutkan hasil akhir hitungannya dapat ditebak dengan benar jumlah adik masing-masing oleh Guru. Contoh tersebut merupakan permainan. Hal seperti itu disenangi oleh anak-anak. Yang pertama jawabnya bermacam-macam, asal alasannya dapat diterima. Permainan matematika adalah suatu kegiatan yang menggembirakan yang dapat menunjang tercapainya tujuan instruksional pengamatan matematika. Tujuan ini dapat menyangkut aspek kognitif, psikomotor, dan afektif. Walaupun permainan matematika menyenangkan, penggunaannya harus dibatsi. Barangkali sekali-kali dapat juga diberikan untuk mengisi waktu, mengubah suasana yang tegang / “tekanan tinggi”, menimbulkan minat, dan sejenisnya. Seharusnya direncanakan dengan tujuan instruksional yang jelas, tepat penggunaannya, dan tepat pula waktunya. Permainan yang mengandung nilai-nilai matematika dapat meningkatkan keterampilan, penanaman konsep, pemahaman, dan pemantapannya; meningkatkan kemampuan menemukan, memecahkan masalah, dan lain-lainnya. Yang begini harus banyak dipakai, terpadu dengan kegiatan belajar mengajar. Ketika anak-anak mulai belajar koordinat, permainan yang menyangkut koordinat dapat diberikan. 

 7. Teori Van Hiele mengemukakan bahwa dalam belajar Geometri, seseorang akan melalui lima tingkatan hirarkis (Visualization, analysis, abstraction, deduction, rigor). Siswa yang didukung dengan pembelajaran yang tepat, akan melewati lima tingkatan tersebut, dimana siswa tidak dapat mencapai satu tingkatan pemikiran tanpa melewati tingkatan sebelumnya. Setiap tingkatan menunjukkan kemampuan berfikir yang digunakan seseorang dalam belajar konsep geometri. Jelaskan lima tingkatan tersebut dan implementasikan setiap tingkatan ke dalam konsep geometri! Tingkat (Visualization). Tingkat ini sering disebut pengenalan(recognition). 

                          Pada tahap ini, siswa sudah mengenal konsep -konsep dasar geometri yaitu bangun-bangun yang sederhana seperti persegi, segitiga, persegi panjang, jajar genjang dan lain -lain. Siswa mengenal suatu bangun geometri sebagai keseluruhan berdasarkan pertimbangan visual, ia belum menyadari adanya sifat-sifat dari bangun geometri itu. Implementasinya kedalam Konsep Geometri adalah : Misalnya, seorang siswa sudah mengenal persegi dengan baik, bila ia sudah bisa menunjukkan atau memilih persegi dari tumpukan benda-benda geometri lainnya. Dalam tingkat ini, siswa tidak akan bisa menjawab pertanyaan -pertanyaan mengenai sifat-sifat persegi, bahwa persegi itu: semua sisinya sama panjang, ked ua diagonalnya sama panjang dan satu sama lain tegak lurus, dan lain-lain. Siswa pada tingkat ini tidak dapat dipaksakan untuk memahami sifat-sifat konsep geometri. Sebab bila dipaksakan, maka sifat-sifat konsep geometri yang diberikan itu akan diterima melalui hafalan. Tingkat (Analisis). Pada tingkat ini, siswa sudah memahami sifat –sifat konsep atau bangun geometri berdasarkan analisis informal tentang bagian dan atribut komponennya. Implementasinya kedalam Konsep Geometri adalah : Misalnya, siswa sudah mengetahui dan mengenal sisi –sisi berhadapan sebuah persegipanjang adalah sama panjang, panjang kedua diagonalnya sama panjang dan memotong satu sama lain sama panjang. Tetapi ia belum dapat memahami hubungan antara bangun -bangun geometri, misalnya persegi adalah juga persegi panjang, pe rsegipanjang adalah juga jajargenjang. Tingkat (Abstraction). Tingkat ini sering disebut juga pengurutan (ordering) atau deduksi informal (informal deduction). Pada tahap ini, siswa mengurut secara logis sifat-sifat konsep, membentuk definisi abstrak dan dapat membedakan himpunan sifat-sifat yang merupakan syarat perlu dan cukup dalam menentukan suatu konsep. Jadi, pada tingkat ini siswa sudah memahami pengurutan bangun-bangun geometri, Implementasinya kedalam Konsep Geometri adalah : misalnya persegi adalah juga persegipanjang, persegipanjang adalah juga jaja rgenjang, persegi adalah juga belah ketupat, belah ketupat adalah juga jajargenjang. Walaupun begitu, siswa pada tingkat ini berpikir secara deduktif informal. Karena itu dalam mengenal bahwa panjang kedua diagonal persegi panjang sama, mungkin ia belum dapat menjelaskannya mengapa sama panjang. Tingkat (Deduction). Pada tingkat ini, berpikir deduktif siswa sudah mulai berkembang, tetapi belum berkembang dengan baik. Dapat memahami pentingnya penalaran deduksi. Geometri adalah ilmu deduktif. Karena itu pengambilan kesimpulan, pembuktian teorema, dan lain -lain harus dilakukan secara deduktif. Implementasinya kedalam Konsep Geometri adalah : Misalnya, mengambil kesimpulan bahwa jumlah sudut –sudut sebuah segitiga adalah 1800; hal ini belum tuntas bila hanya dengan cara induktif, misalnya dengan memotong-motong sudut-sudut benda segitiga dan menunjukkan bahwa ketiga sudutnya itu membentuk sebuah sudut lurus. Tetapi harus membuktikannya secara deduktif, misalnya dengan menggunakan prinsip kesejajaran. Pada tingkat ini, siswa sudah dapat memahami pentingnya un surunsur yang tidak didefinisikan (undefined terms), aksioma, definisi dan teorema. Walaupun ia belum bisa mengerti mengapa sesuatu itu dijadikan aksioma atau teorema. Tingkat (Rigor). Pada tingkat ini, siswa sudah dapat memahami pentingnya ketepatan dari apa-apa yang mendasar. Implementasinya kedalam Konsep Geometri adalah : Misalnya, ketepatan dari aksioma-aksioma yang menyebabkan terjadi geometri Euclides. Siswa memahami apa itu geometri Euclides dan apa itu geometri non -Euclides. Tingkat ini merupakan tingkat berpikir yang kedalamannya serupa d engan yang dimiliki oleh seorang ahli matematika. 

8. Selama kamu menjalani pendidikan di tingkat sekolah dasar dan tingkat sekolah menengah, kamu pasti pernah mengalami kendala-kendala dalam belajar matematika terutama dalam menyelesaikan soal, yang mengakibatkan kegagalan atau setidak-tidaknya menjadikan gangguan dalam kemajuan belajar matematika. Kemukakanlah!

 a. Penyebab kesulitan belajar matematika yang kamu hadapi! Apa langkah yang kamu ambil untuk mengatasi kesulitan belajar yang kamu hadapi!

                          Penyebab kesulitan belajar matematika yang saya hadapi adalah ketika saya duduk dibangku SMP , saya lupa akan rumus-rumus mengenai bangun datar seperti limas kerucut dan sebagainya dikarenakan pada waktu saya duduk di bangku SD saya hanya menerapkan pembelajaran hafalan, bukan lah pembelajaran bermakna, akibatnya dalam waktu yang sebentar saja , materi yang dulu pernah saya kuasai, menjadi lupa dengan sendirinya. Untuk itu saya memikirikan bagaimana mengantisipasi, yaitu dengan mengubah pola pembelajaran matematika dari pembelajaran hafalan ke pembelajaran bermakna, Alhamdulillah pembelajaran ini berfungsi untuk diri saya, sampai saya duduk dibangku kuliah, saya tetap menerapkan pembelajaran bermakna 

b. Sebagai calon guru yang akan terjun langsung ke dunia pendidikan. Apabila kamu telah menjadi seorang guru, bagaimana teknik mendiagnosis kesulitan belajar siswa? Apa langkah-langkah yang dapat diambil guru dalam mengatasi kesulitan belajar siswa? Implementasikan langkah-langkah tersebut ke dalam materi matematika!

                       Adapun langkah-langkah yang dapat diambil guru dalam mengatasi kesulitan belajar siswa yaitu seorang guru terlebih dahulu harus memahami factor kesulitan yang dialami oleh siswa , diantara factor berikut serta mengatasi adalah sebagai berikut: Setiap guru mendambakan para siswanya dapat belajar dengan baik. Namun kenyataannya tidaklah demikian. Sehingga guru mungkin pernah menemui atau mengalami beberapa siswa yang selalu membikin ulah, selalu mengacau, rendah diri, malas, lambat menghafal, ataupun membenci mata pelajaran IPA, Matematika, ataupun Bahasa Inggris. Di sisi lain ada siswa yang biasa ceria tetapi dengan tiba-tiba saja menjadi murung dan malas belajar. Pertanyaan yang mungkin muncul adalah, mengapa hal seperti itu dapat terjadi? Kenyataan-kenyataan ini menunjukkan bahwa siswa dapat mengalami hal-hal yang menyebabkan ia tidak dapat belajar atau melakukan kegiatan selama proses pembelajaran sedang berlangsung. Mungkin juga, si siswa dapat belajar atau melakukan kegiatan selama proses pembelajaran sedang berlangsung, namun tidak maksimal. Faktor penyebabnya dapat berasal dari dalam diri si anak sendiri dan dapat juga dari luar. Pada contoh pertama, seorang anak mengalami hambatan belajar yang disebabkan oleh faktor penglihatan yang kurang baik, sedangkan pada contoh kedua, hambatan belajar tersebut lebih disebabkan oleh faktor kejiwaan pada diri anak tersbut. Para ahli seperti Cooney, Davis & Henderson (1975) telah mengidentifikasikan beberapa faktor penyebab kesulitan tersebut, di antaranya: 
 1. FAKTOR FISIOLOGIS Faktor-faktor yang menjadi penyebab kesulitan belajar siswa ini berkait dengan kurang berfungsinya otak, susunan syaraf ataupun bagian-bagian tubuh lain. Para guru harus menyadari bahwa hal yang paling berperan pada waktu belajar adalah kesiapan otak dan sistem syaraf dalam menerima, memroses, menyimpan, ataupun memunculkan kembali informasi yang sudah disimpan. Kalau ada bagian yang tidak beres pada bagian tertentu dari otak seorang siswa, maka dengan sendirinya si siswa akan mengalami kesulitan belajar. Bayangkan kalau sistem syaraf atau otak anak kita karena sesuatu dan lain hal kurang berfungsi secara sempurna. Akibatnya ia akan mengalami hambatan ketika belajar. Di samping itu, siswa yang sakit-sakitan, tidak makan pagi, kurang baik pendengaran, penglihatan ataupun pengucapannya sedikit banyak akan menghadapi kesulitan belajar. Untuk menghindari hal tersebut dan untuk membantu siswanya, seorang guru hendaknya memperhatikan hal-hal yang berkait dengan kesulitan siswa ini. Seorang siswa dengan pendengaran ataupun penglihatan yang kurang baik, sebaiknya menempati tempat di bagian depan. Untuk para orang tua, terutama ibu, makanan selama masa kehamilan akan sangat menentukan pertumbuhan dan perkembangan fisik putra-putrinya . Makanan yang dapat membantu pertumbuhan otak dan sistem syaraf bayi yang masih di dalam kandungan haruslah menjadi perhatian para orang tua. 

 2. FAKTOR SOSIAL Merupakan suatu kenyataan yang tidak dapat dibantah jika orang tua dan masyarakat sekeliling sedikit banyak akan berpengaruh terhadap kegiatan belajar dan kecerdasan siswa sebagaimana ada yang menyatakan bahwa sekolah adalah cerminan masyarakat dan anak adalah gambaran orang tuanya. Oleh karena itu ada beberapa faktor penyebab kesulitan belajar yang berkait dengan sikap dan keadaan keluarga serta masyarakat sekeliling yang kurang mendukung siswa tersebut untuk belajar sepenuh hati. Sebagai contoh, orang tua yang sering menyatakan bahwa Bahasa Inggris adalah bahasa setan (karena sulit) akan dapat menurunkan kemauan anaknya unutuk belajar bahasa pergaulan internasional itu. Kalau ia tidak menguasai bahan tersebut ia akan mengatakan “ Ah Bapak saya tidak bisa juga.” Untuk itu, setiap guru tidak seharusnya menyatakan sulitnya mata pelajaran tertentu di depan siswanya. Tetangga yang mengatakan sekolah tidak penting karena banyak sarjana menganggur, masyarakat yang selalu minum-minuman keras dan melawan hukum, orang tua yang selalu marah, nonton TV setiap saat, tidak terbuka ataupun kurang menyayangi anaknya dengan sepenuh hati dapat merupakan contoh dari beberapa faktor sosial yang menjadi penyebab kesulitan belajar siswa. Intinya, lingkungan di sekitar siswa harus dapat membantu mereka untuk belajar semaksimal mungkin selama mereka belajar di sekolah. Dengan cara seperti ini, lingkungan dan sekolah akan membantu para siswa, harapan bangsa ini untuk berkembang dan bertumbuh menjadi lebih cerdas. Siswa dengan kemampuan cukup seharusnya dapat dikembangkan menjadi siswa berkemampuan baik, yang berkemampuan kurang dapat dikembangkan menjadi berkemampuan cukup. Sekali lagi, orang tua, guru, dan masyarakat, secara sengaja atau tidak sengaja, dapat menyebabkan kesulitan bagi siswa. Karenanya, peran orang tua dan guru dalam membentengi para siswa dari pengaruh negatif masyarakat sekitar, di samping perannya dalam memotivasi para siswa untuk tetap belajar menjadi sangat menentukan. 

 3. FAKTOR KEJIWAAN Faktor-faktor yang menjadi penyebab kesulitan belajar siswa ini berkait dengan kurang mendukungnya perasaan hati (emosi) siswa unutuk belajar secara sungguh-sungguh. Sebagai contoh, ada siswa yang tidak suka mata pelajaran tertentu karena ia selalu gagal mempelajari mata pelajaran itu. Jika hal ini terjadi, siswa tersebut akan mengalami kesulitan belajar yang sangat berat. Hal ini merupakan contoh dari faktor emosi yang menyebabkan kesulitan belajar. Contoh lain adalah siswa yang rendah diri, siswa yang ditinggalkan orang yang paling disayangi dan menjadikannya sedih berkepanjangan akan mempengaruhi proses belajar dan dapat menjadi faktor penyebab kesulitan belajarnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa anak yang dapat mempelajari suatu mata pelajaran dengan baik akan menyenangi mata pelajaran tersebut. Begitu juga sebaliknya, anak yang tidak menyenangi suatu mata pelajaran biasanya tidak atau kurang berhasil mempelajari mata pelajaran tersebut. Karenanya, tugas utama yang sangat menentukan bagi seorang guru adalah bagaimana membantu siswanya sehingga mereka dapat mempelajari setiap materi dengan baik. Yang perlu mendapatkan perhatian juga, hukuman yang diberikan seorang guru dapat menyebabkan siswanya lebih giat belajar, namun dapat juga menyebabkan mereka tidak menyukai guru mata pelajaran tersebut. Dapat juga terjadi, si siswa lalu membenci sama sekali mata pelajaran yang diasuh guru tersebut. Kalau hal seperti ini yang terjadi, tentunya akan sangat merugikan si siswa tersebut. Peran guru memang sangat menentukan. Seorang siswa yang pada hari kemarinnya hanya mampu mengerjakan 3 dari 10 soal dengan benar, lalu dua hari kemudian ia hanya mampu mengerjakan 4 dari 10 soal dengan benar, gurunya harus menghargai kemajuan tersebut. Guru hendaknya jangan hanya melihat hasilnya saja, namun hendaknya menghargai usaha kerasnya. Dengan cara seperti ini, diharapkan si siswa akan lebih berusaha lagi. Intinya, tindakan seorang guru dapat mempengaruhi perasaan dan emosi siswanya. Tindakan tersebut dapat menjadikan seorang siswa menjadi lebih baik, namun dapat juga menjadikan seorang siswa menjadi tidak mau lagi untuk belajar suatu mata pelajaran. 

 4. FAKTOR INTELEKTUAL Faktor-faktor yang menjadi penyebab kesulitan belajar siswa ini berkait dengan kurang sempurna atau kurang normalnya tingkat kecerdasan siswa. Para guru harus meyakini bahwa setiap siswa mempunyai tingkat kecerdasan berbeda. Ada siswa yang sangat sulit menghafal sesuatu, ada yang sangat lamban menguasai materi tertentu, ada yang tidak memiliki pengetahuan prasyarat dan juga ada yang sangat sulit membayangkan dan bernalar. Hal-hal yang disebutkan tadi dapat menjadi faktor penyebab kesulitan belajar pada diri siswa tersebut. Di samping itu, hal yang perlu mendapatkan perhatian adalah para siswa yang tidak memiliki pengetahuan prasyarat. Ketika sedang belajar matematika atau IPA, ada siswa SLTP yang tidak dapat menentukan hasil 1/2 + 1/3, (–5) + 9, ataupun 1 : ½. Siswa seperti itu, tentunya akan mengalami kesulitan karena materi terebut menjadi pengetahuan prasyarat untuk mempelajari matematika ataupun IPA SLTP. Untuk menghindari hal tersebut, Bapak atau Ibu Guru hendaknya mengecek dan membantu siswanya menguasai pengetahuan prasyarat tersebut sehingga mereka dapat mempelajari materi baru dengan lebih baik. 

 5. FAKTOR KEPENDIDIKAN Faktor-faktor yang menjadi penyebab kesulitan belajar siswa ini berkait dengan belum mantapnya lembaga pendidikan secara umum. Guru yang selalu meremehkan siswa, guru yang tidak bisa memotivasi siswa untuk belajar lebih giat, guru yang membiarkan siswanya melakukan hal-hal yang salah, guru yang tidak pernah memeriksa pekerjaan siswa, sekolah yang membiarkan para siswa bolos tanpa ada sanksi tertentu, adalah contoh dari faktor-faktor penyebab kesulitan dan pada akhirnya akan menyebabkan ketidak berhasilan siswa tersebut.   Berdasar penjelasan di atas, Bapak dan Ibu Guru sudah seharusnya menyadari akan adanya beberapa siswa yang mengalami kesulitan atau kurang berhasil dalam proses pembelajarannya. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor tertentu, sehingga mereka tidak dapat belajar dan kurang berusaha sesuai dengan kekuatan mereka. Idealnya, setiap guru harus berusaha dengan sekuat tenaga untuk membantu siswanya keluar dari setiap kesulitan yang menghimpitnya. Namun hal yang perlu diingat, penyebab kesulitan itu dapat berbeda-beda. Ada yang karena faktor emosi seperti ditinggal saudara kandung tersayang ataupun karena faktor fisiologis seperti pendengaran yang kurang. Untuk itu, para guru harus mampu mengidentifikasi kesulitan dan penyebabnya lebih dahulu sebelum berusaha untuk mencarikan jalan pemecahannya. Pemecahan masalah kesulitan belajar siswa sangat tergantung pada keberhasilan menentukan penyebab kesulitan tersebut. Sebagai contoh, siswa A yang memiliki kesulitan karena penglihatan atau pendengaran yang kurang sempurna hanya dapat dibantu dengan alat optik atau alat elektronik tertentu dan mereka diharuskan duduk di bangku depan. Namun para siswa yang mengalami kesulitan belajar karena faktor lingkungan dan faktor emosi tidak memerlukan kacamata seperti yang dibutuhkan siswa A namun mereka membutuhkan bantuan dan motivasi lebih dari gurunya. Pengalaman sebagai guru telah menunjukkan bahwa ada siswa yang sering membuat ulah di kelas dengan maksud agar diperhatikan guru dan temannya. Setelah diselidiki ternyata ia kurang mendapat perhatian orang tuanya. Untuk anak seperti ini, sudah seharusnya para guru lebih memberikan perhatian dan kasih sayang. Sekali lagi, kesabaran, ketekunan dan ketelatenan para guru sangat diharapkan di dalam menangani siswa yang mengalami kesulitan belajar. Guru dapat menyarankan orang tua siswa tertentu untuk memberi tambahan pelajaran khusus di sore hari untuk siswa yang lamban. Yang lebih penting dan sangat menentukan adalah peran guru pemandu, kepala sekolah, pengawas maupun Kepala Kantor Depdiknas di dalam menangani kesulitan belajar siswa yang disebabkan oleh faktor-faktor kependidikan. Pada akhirnya penulis meyakini bahwa pengetahuan tentang faktor-faktor penyebab kesulitan belajar ini akan sangat bermafaat bagi Bapak dan Ibu Guru. Dengan membaca tulisan ini, diharapkan para guru akan mengetahui, selanjutnya dapat menggunakan pengetahuan tersebut dalam PBM terutama ketika ia sedang mendiagnosis kesulitan belajar siswa. Pada akhirnya, mudah-mudahan usaha setiap jajaran Depdiknas untuk mencerdaskan kehidupan bangsa akan berhasil dengan gemilang.

Psikologi Pembelajaran Maematika

NAMA : NURUL HUDA
NIM : 11115102553
MATA KULIAH : PSIKOLOGI PENDIDIKAN MATEMATIKA
TANGGAL : 24-26 Juli 2012
                    1. Psikologi pembelajaran adalah suatu hal yang mutlak dikuasai oleh guru dan calon guru agar tujuan pembelajaran matematika yang telah direncanakan tercapai secara maksimal. Untuk mencapai tujuan pembelajaran tersebut, guru tidak hanya memperhatikan hakikat matematika tetapi juga psikologi pembelajaran matematika. 
a. Apa yang dimaksud psikologi pembelajaran matematika? Jelaskan! 
                    Pertama kita harus mengetahui dahulu apa itu PSIKOLOGI, apa itu PSIKOLOGI PEMBELAJARAN, dan PSIKOLOGI PEMBELAJARAN MATEMATIKA. Yang saya ketahui makna dari PSIKOLOGI adalah studi ilmiah tentang prilaku dan proses mental , sedangkan PSIKOLOGI PEMBELAJARAN adalah Pembelajaran antara guru dan siswa. Siswa bisa belajar efektif dan guru mengajar baik cabang psikologi yang terkhusus dalam cara memahami pengajaran, pembelajran, dalam lingkungan pendidikan. mengenai psikolgi pembelajaran matematika terutama adalah bagaimana seseorang belajar, tentang bagaimana orang tersebut melakukan atau melaksanakan suatu tugas dan tentang bagaimana orang tersebut bisa berkembangan. Pengertian tersebut dinyatakan oleh Resnick dan Ford (1984:3) yaitu: “Most people know psychology is concerned with how people learn, with how they perform tasjs, and with how they develop.” Meskipun begitu Resnik dan Ford mengajukan beberapa pertanyaan yang berkaitan dengan pembelajaran matematika, diantaranya: 
            * Daripada hanya membahas atau mengkaji tentang bagaimana seseorang berfikir ketika ia sedang mengerjakan tugasnya, mengapa kita tidak mengkaji bagaimana cara seseorang berfikir ketika ia sedang mengerjakan matematika?             * Daripada hanya membahas atau mengkaji bagaimana pemahaman konsep dapt berkembang di benak siswa, mengapa kita tidak mengkaji bagaimana tentang bagaimana pemahaman konsep matematika dapat berkembang dibenak siswa? Psikologi pembelajaran matematika menurut Resnick dan Ford (1984:4) adalah ilmu yang mengkaji tentang struktur atau susunan bangunan matematika itu sendiri dan mengkaji juga tentang bagaimana seseorang itu berfikir (think), bernalar (reason), dan bagaimana ia menggunakan kemampuan intelektualnya tersebut. Pada akhir-akhir ini, banyak ahli pembelajaran matematika muncul, diantara nya Resnick dan Ford yang telah menulis buku “The Psyhology of Mathematics for Instruction” dan juga Orton yang menulis buku “Learning Mathematics”. Kedua buku tersebut membahas teori belajar yang langsung dikaitkan dengan materi matematika. 
b. Jelaskan secara singkat, tentang hakikat pembelajaran matematika! 
                  Sebelum saya menjelaskan secara singkat tentang hakikat pembelajaran matematika , terlebih dahulu kita harus memahami apa itu matematika dan apa itu hakikat matematika. Kata matematika berasal dari perkataan Latin mathematika yang mulanya diambil dari perkataan Yunani mathematike yang berarti mempelajari. Perkataan itu mempunyai asal katanya mathema yang berarti pengetahuan atau ilmu (knowledge, science). Kata mathematike berhubungan pula dengan kata lainnya yang hampir sama, yaitu mathein atau mathenein yang artinya belajar (berpikir). Jadi, berdasarkan asal katanya, maka perkataan matematika berarti ilmu pengetahuan yang didapat dengan berpikir (bernalar). Matematika lebih menekankan kegiatan dalam dunia rasio (penalaran), bukan menekankan dari hasil eksperimen atau hasil observasi matematika terbentuk karena pikiran-pikiran manusia, yang berhubungan dengan idea, proses, dan penalaran (Russeffendi ET, 1980 :148). Matematika terbentuk dari pengalaman manusia dalam dunianya secara empiris. Kemudian pengalaman itu diproses di dalam dunia rasio, diolah secara analisis dengan penalaran di dalam struktur kognitif sehingga sampai terbentuk konsep-konsep matematika supaya konsep-konsep matematika yang terbentuk itu mudah dipahami oleh orang lain dan dapat dimanipulasi secara tepat, maka digunakan bahasa matematika atua notasi matematika yang bernilai global (universal). Konsep matematika didapat karena proses berpikir, karena itu logika adalah dasar terbentuknya matematika. Hakekat matematika adalah kumpulan ide-ide yang bersifat abstrak, terstruktur dan hubungannya diatur menurut aturan logis berdasarkan pola pikir deduktif. Belajar matematika tidak ada artinya jika hanya dihafalkan saja. Dia baru mempunyai makna bila dimengerti. Orton (1991: 154) mengemukakan bahwa hendaknya siswa tidak belajar matematika hanya dengan menerima dan menghafalkan saja, tetapi harus belajar secara bermakna, belajar bermakna merupakan suatu cara belajar dengan pengertian dari pada hafalan. Soedjadi (1985) menyatakan bahwa untuk menguasai matematika diperlukan cara belajar yang berurutan, setapak demi setapak dan bersinambungan. Hal ini juga sejalan dengan pendapat Hudojo (1988: 4) yang mengatakan bahwa untuk mempelajari matematika haruslah bertahap, berurutan, serta mendasarkan kepada pengalaman belajar yang lalu. Lebih lanjut dikatakan bahwa proses belajar matematika akan terjadi dengan lancar bila belajar itu dilakukan secara kontinu. Hudojo (1988: 1) mengemukakan bahwa seseorang dikatakan belajar bila diasumsikan dalam diri orang itu terjadi suatu proses kegiatan yang mengakibatkan perubahan tingkah laku. Selanjutnya Winkel (1989: 36) mendifinisikan belajar adalah suatu aktivitas mental/psikis yang berlangsung dalam interaktif dengan lingkungan, yang menghasilkan perubahan-perubahan dalam pengetahuan, pemahaman, keterampilan dan nilai sikap. Slameto (1980: 2) mengemukakan bahwa secara psikologis belajar merupakan suatu proses perubahan yaitu perubahan tingkah laku sebagai hasil interaksi dengan lingkungannya lebih jauh dikatakan bahwa perubahan tingkah laku dalam belajar adalah: (1) perubahan ini terjadi secara sadar, (2) perubahan dalam belajar bersifat kontinu dan fungsional, (3) perubahan dalam belajar bersifat/bernilai positif dan aktif, (4) perubahan dalam belajar bukan bersifat sementara, dan (5) perubahan belajar bertujuan dan terarah. Sedang Rusyan (1989: 8) mengemukakan pendapatnya tentang belajar, sebagai berikut: belajar dalam arti yang luas adalah proses perubahan tingkah laku yang dinyatakan dalam bentuk penguasaan, penggunaan, dan penilaian mengenai sikap dan nilai-nilai, pengetahuan dan kecakapan dasar yang terdapat dalam berbagai bidang studi, atau lebih luas lagi dalam berbagai aspek kehidupan atau pengalaman yang terorganisasi. Dari beberapa pendapat di atas, dapatlah disimpulkan bahwa belajar adalah suatu proses perubahan tingkah laku yang bersifat positif dalam diri seseorang. Perubahan tingkah laku yang diakibatkan oleh belajar dapat ditunjukkan dalam berbagai bentuk, misalnya bertambahnya pengetahuan, pemahaman, keterampilan dan perubahan sikap. Salah satu contoh hasil dari usaha belajar Bilangan Pecahan adalah dari belum memiliki pengetahuan tentang Bilangan Pecahan menjadi memiliki pengetahuan tentang Bilangan Pecahan. 
 c. Jelaskan kegunaan/manfaat "hakikat matematika dan psikologi pembelajaran matematika" dalam memberikan fasilitas belajar siswa!
                     Dapat kita simpulkan dari penjelasan sebelumnya , bahwa manfaat hakikat matematika dan psikologi pembelajaran matematika diantaranya adalah siswa dapat menyelesaikan permasalahan dan kegiatan dalam hidup yang diselesaikan dengan menggunakan Ilmu Matematika seperti menghitung, mengukur, dan lain-lain. Matematika digunakan manusia untuk memecahkan masalahnya dalam kehidupan sehari-hari.  Contoh : ~ Matematika sebagai Ilmu yang lain, misal pada biologi, fisika dan lain-lain ~ Matemtika dapat digunakan dalam kehidupan sehari-hari, misal pada perdagangan, pengukuran, ramalan / perkiraan, statistika, dan sebagainya ~ Memecahkan persoalan dunia nyata  ~ Mengadakan transaksi jual beli, maka manusia memerlukan proses perhitungan matematika yang berkaitan dengan bilangan dan operasi hitungnya ~ Menghitung luas daerah ~ Menghitung jarak yang ditempuh dari suatu tempat ke tempat yang lain ~ Menghitung laju kecepatan kendaraan Menyadari akan peran penting matematika dalam kehidupan, maka matematika selayaknya merupakan kebutuhan dan menjadi kegiatan yang menyenangkan. Sebagaimana dari tujuan yaitu melatih siswa berfikir dan bernalar dalam menarik kesimpulan, mengembangkan aktifitas kreatif yang melibatkan imajinasi, penemuan, membuat prediksi dan dugaan serta mencoba-coba, mengembangkan kemampuan memecahkan masalah dan mengembangkan kemampuan mengkomunikasikan gagasan atau ide melalui tulisan, pembicaraan lisan, catatan, grafik peta atau diagram. Oleh karena itu setiap siswa perlu memiliki penguasaan matematika yang merupakan penguasaan kecakapan matematika untuk dapat memahami dunia dan berhasil dalam kariernya. 
 2. Belajar matematika melibatkan suatu hirarki dari konsep-konsep tingkat lebih tinggi yang dibentuk atas dasar apa yang telah terbentuk sebelumnya. Jadi, asumsi ini berarti konsep-konsep matematika tingkat lebih tinggi tidak mungkin bisa diajarkan bila prasyarat yang mendahului konsep-konsep itu belum dipelajari
 a. Apa yang dimaksud Hirarki Belajar Matematika? Jelaskan! 
                       Sebelum saya menjelaskan apa yang dimaksud dengan Hirarki Belajar Matematika , terlebih dahulu kita harus mengetahui Apa itu Hirarki Belajar , nah berikut penjelasan berdasarkan pengetahuan dan sumber yang saya dapatkan Apa itu Hirarki Belajar? Para guru matematika, fisika, kimia, bahasa inggris ataupun mata pelajaran lainnya tentunya sudah mengalami sendiri bahwa satu Standar Kompetensi diajarkan mandahului Standar Kompetensi lainnya, dan satu Kompetensi Dasar diajarkan mandahului Kompetensi Dasar lainnya. Pada dasarnya, pengetahuan yang lebih sederhana harus dikuasai para siswa terlebih dahulu dengan baik agar ia dapat dengan mudah mempelajari pengetahuan yang lebih rumit. Pertanyaan yang sering muncul adalah mengapa suatu Standar Kompetensi harus diajarkan mendahului Standar Kompetensi lainnya? Atas dasar apa penentuan itu? Apakah hanya didasarkan pada kata hati para guru dan pakar saja? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, Gagne memberikan alasan pemecahan dan pengurutan materi pembelajaran dengan selalu menanyakan pertanyaan ini: “Pengetahuan apa yang lebih dahulu harus dikuasai siswa agar ia berhasil mempelajari suatu pengetahuan tertentu?”. Setelah mendapat jawabanya, ia harus bertanya lagi seperti pertanyaan yang di atas tadi untuk mendapatkan prasarat yang harus dikuasai dan dipelajari siswa sebelum ia mempelajari pengetahuan tersebut. Begitu seterusnya sampai didapatkan urut-urutan pengetahuan dari yang paling sederhana sampai yang paling kompleks. Dengan cara seperti itulah kita akan mendapatkan hirarki belajar. Apa yang dipaparkan di atas dapat diperjelas dengan tulisan Resnick dan Ford (1984) berikut ini: “A hierarchy is generated by considering the target task and asking: “ What would (this child) have to know and how to do in order to perform thisk task…?” Karena itu, hirarki belajar menurut Gagne harus disusun dari atas ke bawah atau top down (Orton,1987). Dimulai dengan menempatkan kemampuan, pengetahuan, ataupun keterampilan yang menjadi salah satu tujuan dalam proses pembelajaran di puncak dari hirarki belajar tersebut, diikuti kemampuan, ketrampilan, atau pengetahuan prasyarat (prerequisite) yang harus mereka kuasai lebih dahulu agar mereka berhasil mempelajari ketrampilan atau pengetahuan di atasnya itu. Hirarki belajar dari Gagne memungkinkan juga prasyarat yang berbeda untuk kemampuan yang berbeda pula (Orton, 1987). Sebagai contoh, pemecahan masalah membutuhkan aturan, prinsip dan konsepkonsep terdefinisi sebagai prasyaratnya, yang membutuhkan konsep konkret sebagai prasyarat berikutnya, yang masih membutuhkan kemampuan membedakan (discriminations) sebagai prasyarat berikutnya lagi. b. Buatlah contoh implementasi hirarki belajar matematika pada salah satu konsep matematika SMP/SMA/Perguruan Tinggi! Contoh yang saya ambil disini adalah Seorang siswa SMP yang baru belajar mengalikan dua bilangan antara 10 sampai 100 harus memiliki pengetahuan prasyarat awal seperti dapat menulis dan membilang angka 10 sampai 00 secara berurutan. Di samping itu, ia harus menentukan banyaknya suatu kelompok benda dengan tepat. Menurut seorang guru SD, sering terjadi seorang anak, ketika membilang dengan benda konkret, ia mengucapkan “empat” padahal jarinya menunjuk benda ketiga atau malah benda kelima. Di tingkat perguruan tinggi, seorang mahasiswa tidak akan mungkin mempelajari integral rangkap tiga jika ia tidak memiliki bekal yang cukup tentang integral biasa. Tentunya hal yang sama akan terjadi di bangku SMP. Di samping itu, matematika sudah dikenal sebagai mata pelajaran yang sulit. Pendapat seperti ini harus dikikis sedikit demi sedikit oleh setiap guru matematika. Karenanya, perlu bagi penulis untuk mengingatkan para guru matematika bahwa di saat menemui para siswa yang mengalami kesulitan atau melakukan kesalahan, cobalah untuk berpikir jernih dalam menetapkan penyebab kesulitan maupun kesalahan siswa tersebut dan dapat menggunakan teori tentang hirarki belajar ini sebagai salah satu alat pentingnya. Sekali lagi, seorang siswa tidak akan dapat mempelajari atau menyelesaikan tugas tertentu jika mereka tidak memiliki pengetahuan prasyaratnya. Karena itu, untuk memudahkan para siswa selama proses pembelajaran di kelas, proses tersebut harus dimulai dengan memberi kemudahan bagi para siswa dengan mengecek, mengingatkan kembali, dan memperbaiki pengetahuan-pengetahuan prasyaratnya. Sebagai penutup, penulis ingin menyatakan bahwa tugas guru matematika memanglah berat, namun sangat mulia dan akan sangat menentukan kemajuan bangsa ini di masa yang akan datang. 
 3. Prinsip dan karakteristik belajar menurut Aisubel adalah belajar bermakna dan belajar hafalan.
 a. Apa perbedaan belajar bermakna dan belajar hafalan? Manakah yang lebih baik untuk diterapkan dalam pembelajaran matematika? Beri alasan!
                       Belajar Bermakna : Belajar bermakna adalah belajar di mana siswa harus mengkaitkan konsep baru dengan yang diperolehnya dalam bentuk proposisi (hubungan antar konsep) yang benar. Ausubel (dalam Dahar, 1988) menyatakan belajar bermakna merupakan suatu proses dikaitkannya informasi baru pada konsep-konsep relevan yang terdapat dalam struktur kognitif seseorang. Walaupun kita tidak mengetahui mekanisme biologi tentang memori atau disimpankannya pengetahuan, kita mengetahui bahwa informasi disimpan di daerah-daerah tertentu dalam otak. Seorang guru biologi dalam mengajarkan konsep-konsep biologi kepada siswa sebaiknya dapat memahami suatu konsep (Amin, 1994). Konsep terbentuk bila dua atau lebih objek-objek yang dapat dibedakan atau kejadian-kejadian/ situasi-situasi telah dikelompokkan bersama dan terpisah dari obyek-objek atau kejadian-kejadian atau situasi-situasi lain berdasarkan ciri-ciri umum, bentuk dan sifatnya. Konsep merupakan suatu gagasan atau ide yang didasarkan pada pengalaman (empiris) tertentu dan relevan dan yang dapat digeneralisasikan (Amin, 1994). Klasifikasi konsep dan sistem konseptual sangat penting karena isu-isu mutakhir yang menantang para guru adalah mengenai konsep-konsep esensial dan subkonsep-subkonsep apa yang harus diajarkan, dalam urutan atau rangkaian yang bagaimana, dan kepada siapakah harus diajarkan sesuai dengan minat, kebutuhan dan kemampuan siswa. Apa yang dimaksud disini ialah cara penalaran untuk mengklasifikasikan konsep kedalam kategori-kategori yang bermakna, dan cara untuk menghubungkan kategori-kategori tersebut pada kemampuan intelektual para siswa sehingga mereka tidak hanya memperoleh pengertian yang signifikan tentang makna konsep, tetapi pengalaman belajar itu sendiri juga akan membantu siswa dalam menumbuhkan dan mengembangkan kemampuan penalarannya. Konsep itu saling berhubungan satu sama lain dalam sistem yang dinamik yang disebut sistem-sistem konseptual. Pengajaran sistem konseptual dalam bidang biologi harus melibatkan urutan atau rangkaian pengenalan tentang konsep-konsep biologi dalam cara yang bermakna dan relevan. Salah satu strategi pengajaran sistem konseptual ini disebut teknik pemetaan konsep. Tujuan teknik pemetaan konsep adalah untuk memungkinkan guru dan siswa menjadi lebih kreatif dan ekspresif (Amin, 1994). Konstruksi peta konsep umumnya dibuat oleh guru yang berpengalaman dan menguasai materi biologi yang utuh. Teknik pemetaan konsep memberikan suatu hubungan penting antara teori belajar dan mengajar, khususnya teori belajar dan mengajar biologi. Guru hendaknya menyadari bahwa belajar biologi yang efektif dan bermakna itu dapat dibangun antara konsep-konsep baru dengan konsep-konsep yang telah terbentuk di dalam struktur kognitif siswa. Dengan demikian, penggunaan teknik pemetaan konsep dalam proses belajar mengajar biologi di kelas dapat me-ngurangi kepasifan siswa dan memacu peningkatan minat serta partisipasi siswa dalam proses belajar mengajar yang bermakna (Amien, 1990). Bila siswa mengatahui bahwa mereka akan terlibat dalam suatu kegiatan belajar seperti pemetaan konsep, maka perhatiannya akan lebih besar dan menjadi lebih berminat untuk melibatkan diri dalam proses belajarnya sendiri. Strategi yang menggunakan peta konsep yang disiapkan oleh guru berupa ekspositori dan berorientasi pada hasil (produk), sedangkan strategi yang menggunakan peta konsep yang dibuat oleh siswa berorientasi pada proses yang memusatkan pada penemuan siswa secara individual atau kelompok (Amien, 1990). Menurut Ausubel (dalam Arifin, 1995) siswa mengasimilasi pelajaran di-lakukan dengan cara-cara seperti pada Tabel 2.1 berikut. Tabel 2.1. Bentuk-Bentuk Belajar Menurut Ausubel Dimensi II Dimensi I Hafalan Bermakna Penerimaan Materi disajaikan dalam bentuk final Siswa menghafal materi yang disajikan Materi disajikan dalam bentuk final Siswa memasukan informasi kedalam struktur kognitif Penemuan Materi ditemukan oleh siswa Siswa menghafal materi Siswa menemukan materi Siswa memasukan informasi kedalam struktur kognitif Selanjutnya Ausubel menjelaskan perbedaan antara belajar bermakna dengan belajar hafalan, belajar bermakna merupakan suatu proses dalam belajar yaitu informasi baru dikaitkan pada konsep-konsep relevan yang telah ada dalam struktur kognitif seseorang. Sedangkan belajar secara hafalan terjadi jika siswa mempelajari konsep-konsep baru secara semuanya dan tidak dihubungkan dengan konsep-konsep relevan yang sudah diketahuinya. Belajar bermakna berarti belajar dengan memperoleh pemberitahuan yang bermakna. Menurut Ausubel dalam Amin (1990) prasyarat-prasyarat dari belajar bermakna adalah sebagai berikut: (1) materi yang akan diepalajari harus bermakna secara potensial yaitu dengan memperhatikan kemampuan awal siswa, dan (2) anak yang akan belajar atau siswa harus bertujuan untuk melaksanakan belajar bermakna, jadi mempunyai kesiapan dan niat untuk belajar bermakna (meaningful learning set). Tujuan siswa merupakan faktor utama dalam belajar bermakna. Selanjutnhya kebermaknaan materi pelajaran secara potensial tergantung pada dua faktor: (1) materi ini harus memiliki kebermaknaan logis, (2) gagasan-gagasan yang relevan harus terdapat dalam struktur kognitif siswa. Materi yang memiliki kebermaknaan logis merupakan materi yang non-arbitrat dan substantif. Agar terjadi belajar bermakna, materi pelajaran harus bermakna secara logis, siswa harus bertujuan untuk memaukkan materi itu ke dala struktur kognitifnya, dan dalam struktur kognitif anak harus terdapat unsur-unsur yang cocok untuk mengkaitkan atau menghubungkan materi baru secara non-arbitrer dan substantif. Jika salah satu komponen ini tidak ada, maka materi itu kalaupun, dipelajari, akan dipelajari secara hafalan (Rosser dalam Dahar, 1989). Sukmadinata (2001) menyarankan agar pembelajaran dapat bermakna bagi siswa, maka ada dua persyaratan yang harus dipenuhi yaitu: pertama, suatu materi memiliki kebermaknaan logis berarti materi tersebut dapat dihubungkan dengan konsep-konsep yang telah ada pada siswa, maka siswa harus memiliki materi yang sesuai dengan hal yang akan dipelajari. Bila siswa dalam struktur kognitifnya telah memiliki materi, ide-ide yang sesuai, yang memungkinkan materi baru dapat dihubungkan padanya secara secara substantif dan non-arbitrer, maka materi tersebut telah memiliki kebermaknaan potensial. Kedua, sesuai dengan materi yang memiliki kebermaknaan potensial, sebab siswa dapat memberikan makna, hal ini sangat tergantung pada kemauan siswa untuk memberi makna atau tidak. Apabila siswa mempunyai kesiapan untuk memberi makna maka terjadilah belajar bermakna (meaningful learning). Sedangkan Ausubel dan Novak (dalam Susilo, 1987) menjelaskan cara belajar bermakna yang baik ialah melalui subsumption yaitu dengan mengkaitkan konsep baru yang khusus ke konsep lain yang lebih umum atau lebih inklusif, yang membentuk sebagian dari struktur pengetahuan siswa saat itu, yaitu yang sudah ada dalam ingatannya. Pada saat terjadi sub-sumption itu, struktur pengetahuan siswa menjadi lebih terdiferensiasi, sehingga mempermudah terjadinya asimilasi konsep-konsep lain yang lebih baru. Pembelajaran Hafalan Pembelajaran hafalan ini merupakan kebalikan dari pada pembelajaran bermakna. Pembelajaran hefalan ini selalu menekankan bahkan sering kali lebih mengandalkan daya ingat saja terhadap sesuatu atau hal yang baru saja di dengar atau yang telah dialami. Dalam hal ini pembelajaran hafalan jarang bahkan tidak pernah mengkaitkat atau menghubungkan dengan informasi baru pada konsep-konsep relevan yang terdapat dalam struktur kognitif. Ausubel menyatakan hal berikut sebagaimana dikutip Bell (1978: 132): “…, if the learner’s intention is to memorise it verbatim, i,e., as a series of arbitrarily related word, both the learning process and the learning outcome must necessarily be rote and meaningless”. Intinya, jika seorang anak, berkeinginan untuk mengingat sesuatu tanpa mengaitkan hal yang satu dengan hal yang lain maka baik proses maupun hasil pembelajarannya dapat dinyatakan sebagai hafalan dan tidak akan bermakna sama sekali baginya. Contoh yang dapat dikemukakan tentang belajar hafalan ini adalah beberapa siswa SD kelas 1 ataui 2 yang dapat mengucapkan: “Ini Budi. Ini Ibu Budi,” namun ia tidak dapat menentukan sama sekali mana yang “i” dan mana yang “di”. Contoh lain untuk labih dari belajar menghafal adalah siswa yang dapat mengingat dan menyatakan rumus luas persegipanjang adalah l = pl, namun ia tidak bisa menentukan luas suatu persegi panjang karena ia tidak tahu arti lambang l, p, dan l. Salah satu kelemahan dari belajar hafalan atau belajar membeo telah ditunjukkan Nani di mana jawaban yang benar, yaitu 1 + 1 = 2, diubah dengan jawaban yang lain ketika jawaban tersebut pura-pura dianggap sebagai jawaban yang salah oleh bapaknya. Intinya, si Nani tidak memiliki dasar yang kuat untuk meyakinkan dirinya sendiri, apalagi meyakinkan orang lain bahwa 1 + 1 = 2. Lebih celaka lagi kalau temannya tadi mengajari Nani bahwa 1 + 1 = 4 dan 2 + 2 = 6. Tidak mustahil jika ia mengikutinya. Di samping itu, ia tidak bisa menjawab soal baru seperti 1 + 2 maupun 2 + 1 karena temannya belum mengajari hal itu. Kemudian manakah yang lebih untuk diterapkan dalam pembelajaran matematika : Adalah Belajar bermakna dari pada belajar hafalan, karena bisa kita simpulkan Pembelajaran bermakna membuat siswa lebih lama untuk mengingat dengan materi yang telah dikuasainya dari pada pembelajaran Hafalan. Pembelajaran Hafalan hanya membuat siswa ingat seketika saja akan materi yang dikuasainya, seiring berjalanya waktu, itu semua akan hilang dengan sendirinya, jadi lebih baik menerapkan Pembelajaran Bermakna dari pada Pembelajaran Hafalan b. Berikan contoh implementasi belajar bermakna pada materi pembelajaran matematika? Contoh implementasi belajar bermakna pada materi pembelajaran matematika adalah Kita mengajak siswa kelapangan tempat kejadian itu berlangsung, contohnya kita mengajak siswa kepasar untuk mengamati proses jual beli, hal ini untuk mengajarkan siswa dalam pembelajaran Aritmatika Sosial, contohnya mengenai harga jual dan beli , diskon, untung dan rugi dan lain-lainnya. 
4. Teori perkembangan intelektual siswa yang dikemukakan Jean Piaget dirasakan sangat cocok untuk pengajaran matematika di sekolah, sebab teori Piaget itu berhubungan dengan bagaimana siswa berfikir dan bagaimana berfikir itu berubah sesuai dengan usianya. 
a. Implementasikan gagasan Piaget pada proses pembelajaran matematika di sekolah sesuai dengan teori perkembangan itu sendiri! (Tidak dibenarkan menggunakan implementasi pada makalah) 
                     Implementasi gagasan piaget pada proses pembelajaran matematika contohnya dalam pembelajaran matematika disekolah yaitu pada pembelajaran Aljabar. Tingkatan-tingkatan belajar aljabar siswa dari berada pada tingkat sekolah dasar sampai perguruan tinggi mengalami perkembangan yang bertahap, contohnya yaitu: Pada tingkat Sekolah Dasar (SD) Siswa diajarkan pada tingkatan yang paling dasar tentang Aljabar, yaitu berawal dari sekedar mengajarkan tentang pengenalan tentang angka dan selanjutnya diajarkan tentang penjumlahan, pengurangan, perkalian, hingga pembagian dengan perumpamaan benda sekitar siswa yang bertujuan agar siswa dapat cepat mengerti dan dapat mengerjakan soal dengan mudah. Contohnya: 3 Manggis + 5 Manggis = ... 19 Jeruk – 10 jeruk =... 27 Rambutan : 3 Rambutan =... 3 anggur × 3 anggur =... 
                    Pada tingkatan SMP dan SMA : Ketika siswa berada di SMP pembelajaran tentang aljabar akan lebih mendalam dibandingkan pada tingkat SD, yaitu ketika pada tingkat SD pembelajaran yang dimulai pengenalan angka dan samapai kepada pengerjaan soal yang diumpamakan kepada benda yang mudah dimengerti oleh siswa berbeda dengan pada tingkat SMP. Yaitu pada tingkat SMP angka yang akan dipelajari tidak semudah pada tingkat SD, begitu juga pada tingkat SMA, pembelajaran tentang aljabar yang diajarkan pada tingkat SMA lebih mendalam lagi dibanding pada tingkat SD dan SMP. Pada tingkat SMP pembelajaran aljabar menggunakan pengubah(Variabel). Contohnya:  Pada Persamaan Linear satu Variabel: a+6 = 8 ( a sebagai variabel)  5+6q=17 ( q sebagai variabel)  Pada Persamaan Linear Dua Variabel:  19a+10 b= 27  m+5n=30 
                     Pada tingkat SMP telah belajar juga tentang penerapan sistem persamaan linear dua variabel, contohnya kasus-kasus yang ada dalam kehidupan sehari-hari yaitu yang berkaitan dengan aritmatika sosial. Misalnya menentukan harga satuan barang, menentukan panjang atau lebar sebidang tanah, dan lain sebagainya. Pada tingkat SMA, pembelajaran aljabar akan lebih berkembang dan mendalam lagi, yaitu pada tingkat SMA diajarkan tentang Sistem persamaan linear dan kuadrat (SPLK), Sistem dua persamaan kuadrat (SDPK), Sistem persamaan dengan tiga variabel. Pada tingkat Perguruan tinggi Pembelajaran aljabar pada tingkat perguruan tinggi yaitu dengan pengulangan kembali pembelajaran yang telah di ajarkan. 
b. Apa yang dimaksud dengan asimilasi dan akomodasi? Berilah contoh dalam pembelajaran matematika! 
                          Asimilasi adalah proses kognitif dimana seseorang mengintegrasikan persepsi, konsep atau pengalaman baru kedalam skema atau pola yang sudah ada dalam pikirannya,(penerapan informasi baru dalam pikiran) Contoh dalam pembelajaran matematika yaitu dalam pembelajaran matematika tidak dipungkiri mempunyai banyak cara dalam penyelesaiannya, dalam satu soal akan ada banyak rumus untuk menyelesaikannya, oleh karena itu asimilasi dalam pembelajran matematika yaitu cara sendiri untuk menjawab soal atau menggunakan logika pemikiran sendiri dalam menyelesaikan soal tersebut. Akomodasi adalah menyusun kembali struktur pikiran karena adanya informasi baru atau proses mental yang meliputi pembentukan skema baru yang cocok dengan rangsangan baru atau memodifikasikan skema yang sudah ada sehingga cocok dengan rangsangan yang ada. Contoh dalam pembelajaran matematika yaitu contohnya dalam mencari penyelesaian sisitem persamaan linear dua variabel, kita ketahui bahwa cara mencari penyelesaian dari SPLDV mempunyai berbagai cara, jadi terserah kita menggunakan cara yang mana, asal tidak melenceng dari konsep yang telah ada. 
 5. Teori perkembangan menurut Dewey yaitu mengaitkan bahan pelajaran dengan situasi dunia nyata dan mendorong siswa menghubungkan yang dipelajari dengan kehidupan sehari-hari, pengalaman sesungguhnya dan penerapannya/manfaatnya. Implementasikan teori belajar Dewey pada salah satu materi pembelajaran matematika dengan menggunakan salah satu pendekatan yang kamu pilih dibawah ini: a. Pendekatan pemecahan masalah.b. Pendekatan Open Ended. c. Pendekatan berbasis konstruktivisme. d. Pendekatan matematika realistik. e. Pendekatan kontekstual. f. Pendekatan Problem Posing. Sebelum mengimplementasikan, jelaskan secara singkat tentang pendekatan yang kamu pilih!                              Pendekatan Kontekstual Definisi pembelajaran kontekstual secara umum masih belum disepakati oleh para ahli, tetapi tentang dasar dan unsur-unsur kuncinya lebih banyak yang mereka sepakati. Pembelajaran kontekstual sebagai terjemahan Contextual Teaching and Learning (CTL) memiliki dua peranan dalam pendidikan yaitu sebagai filosofi pendidikan dan sebagai rangkaian kesatuan dari strategi pendidikan. Sebagai filosofi pendidikan, CTL mengasumsikan bahwa peranan pendidik adalah membantu peserta didik menemukan makna dalam pendidikan dengan cara membuat hubungan antara apa yang mereka peroleh di dunia nyata dengan yang mereka pelajari di sekolah untuk kemudian menerapkan pengetahuan tersebut di dunia nyata. Dengan demikian, inti pembelajaran kontekstual adalah melibatkan situasi dunia nyata sebagai sumber maupun terapan materi pelajaran. Pembelajaran kontekstual sebenarnya bukanlah ide baru. Pembelajaran tersebut berakar dari filosofi yang dikembangkan oleh John Dewey yang mengemukakan bahwa peserta didik akan belajar dengan baik, ketika apa yang dipelajarinya dikaitkan dengan apa yang mereka ketahui dan ketika mereka secara aktif belajar sendiri. Dalam pembelajaran kontekstual, terdapat beberapa ciri, yaitu: a. Pembelajaran aktif: peserta didik diaktifkan untuk mengkontsruksi pengetahuan dan memecahkan masalah. b. Multi konteks: pembelajaran dalam konteks yang ganda akan memberikan peserta didik pengalaman yang dapat digunakan untuk mempelajari dan mengidentifikasi ataupun memecahkan masalah dalam konteks yang baru (terjadi transfer). c. Kerjasama dan diskursus: peserta didik belajar dari orang lain melalui kerjasama, diskursus (penjelasan-penjelasan) kerja tim dan mandiri (self reflection). d. Berhubungan dengan dunia nyata: pembelajaran yang menghubungkan dengan isu-isu kehidupan nyata melalui kegiatan pengalaman di luar kelas dan simulasi. e. Pengetahuan prasyarat: pengalaman awal peserta didik dan situasi pengetahuan yang didapat mereka akan berarti atau bernilai dan nampak sebagai dasar dalam pembelajaran. f. Pemecahan masalah: berpikir tingkat tinggi yang diperlukan dalam memecahkan masalah nyata harus ditekankan pada kebermaknaan memorasi dan pengulangan-pengulangan. g. Mengarahkan sendiri (self-direction): peserta didik ditantang dan dimungkinkan untuk membuat pilihan-pilihan, mengembangkan alternatif-laternatif, dan diarahkan sendiri. Dengan demikian mereka bertanggung jawab sendiri dalam belajarnya (Aisyah, 2007). Menerapkan CTL dalam suatu pembelajaran pada prisipnya sama saja dengan menciptakan suatu pembelajaran yang menantang daya cipta siswa untuk menemukan informasi baru dalam pembelajaran. Di dalam Depdiknas (2003) disebutkan bahwa ada tujuh prinsip pembelajaran CTL, yaitu: (1) kontsruktivis (constructivism), (2) inkuiri (inquiry), (3) bertanya (questioning), (4) masyarakat belajar (learning community), (5) pemodelan (modeling), (6) refleksi (reflection) dan (7) penilaian yang sebenarnya (authentic assestment). (1) Kontsruktivisme (Constructivism) Siswa membangun pemahaman oleh diri sendiri dari pengalaman-pengalaman baru berdasarkan pengalaman awal. Pengalaman awal selalu merupakan dasar/tumpuan yang digabung dengan pengalaman baru untuk mendapatkan pengalaman baru. Pemahaman yang mendalam dikembangkan melalui pengalaman yang bermakna. (2) Penemuan (Inquiry) Kegiatan pembelajaran dilakukan dengan induktif, diawali dengan pengamatan dalam rangka memahami suatu konsep. Dalam praktik, pembelajaran melewati siklus kegiatan mengamati, bertanya, menganalisis, dan merumuskan teori, baik secara individual maupun secara bersama-sama dengan temannya. Penemuan juga merupakan aktivitas untuk mengembangkan dan sekaligus menggunakan keterampilan berpikir kritis siswa. (3) Bertanya (Questioning) Pertanyaan merupakan komponen penting dalam pembelajaran kontekstual. Pertanyaan merupakan alat pembelajaran bagi guru untuk mendorong, membimbing, dan menilai kemampuan berpikir siswa. Pertanyaan juga digunakan oleh siswa selama melaksanakan kegiatan yang berbasis penemuan. (4) Masyarakat belajar (Learning Community) Proses pembelajaran berlangsung dalam situasi sesama siswa saling berbicara dan menyimak, berbagi pengalaman dengan orang lain. Bekerja sama dengan orang lain untuk menciptakan pembelajaran siswa aktif lebih baik jika dibandingkan dengan belajar sendiri yang mendidik siswa untuk menjadi individu yang egoistis. (5) Pemodelan (Modeling) Aktivitas guru di kelas memiliki efek model bagi siswa. Jika guru mengajar dengan berbagai variasi metode dan teknik pembelajaran, secara tidak langsung siswa pun akan meniru metode atau teknik yang dilakukan guru tersebut. Kondisi semacam ini akan banyak memberika manfaat bagi guru untuk mengarahkan siswa melakukan sesuatu yang diinginkannya melalui pendemonstrasian cara yang diinginkan tersebut. (6) Refleksi (Reflection) Salah satu pembeda pendekatan kontekstual dengan pendekatan tradisional adalah cara-cara berpikir tentang sesuatu yang telah dipelajari oleh siswa. Dalam proses berpikir itu, siswa dapat merevisi dan merespon kejadian, aktivitas, dan pengalaman mereka. (7) Penilaian yang Sebenarnya (Authentic Assestment) Penilaian autentik ini bersifat mengukur produk pembelajaran yang bervariasi, yaitu pengetahuan dan keterampilan serta sikap siswa. Penilaian ini juga tidak hanya melihat produk akhir, tetapi juga prosesnya. Instruksi dan pertanyaan-pertanyaannya disusun yang kontekstual dan relevan.

6. Dienes menterjemahkan ide-ide matematika ke dalam "permainan". Siswa-siswa menguasai ide-ide matematika melalui permainan. Desainlah sebuah permainan matematika yang berguna untuk mengajarkan sebuah konsep metematika sehingga siswa-siswa dapat menguasai konsep matematika tersebut! 
                         Berikut adalah sebuah permainan yang bisa saya kemukakan berdasarkan sumber yang saya dapat untuk membantu mengajarkan sebuah konsep matematika sehingga siswa-siswi dapat menguasai konsep matematika yang dipelajarinya tersebut Seorang guru menyuruh tiap murid menuliskan hitungan sesuai dengan suruhannya tanpa mengatakan apa yang dihitungnya. Suruhan tersebut adalah demikian. “Tulislah bilangan banyak adikmu”  “Tambah itu dengan tiga”  “Kalikan dua” “Sekali lagi, kalikan enam.”  “Sekarang, bagi empat”  “Terakhir, kurangi delapan” 
 Kemudian guru bertanya kepada Budi. Guru : “Berapa hasil akhir yang kamu peroleh?”  Budi : “Sepuluh.”  Guru : “Jadi adikmu tiga orang, bukan?”  Budi : “Ya, Bu.” 
                         Semua anak yang menyebutkan hasil akhir hitungannya dapat ditebak dengan benar jumlah adik masing-masing oleh Guru. Contoh tersebut merupakan permainan. Hal seperti itu disenangi oleh anak-anak. Yang pertama jawabnya bermacam-macam, asal alasannya dapat diterima. Permainan matematika adalah suatu kegiatan yang menggembirakan yang dapat menunjang tercapainya tujuan instruksional pengamatan matematika. Tujuan ini dapat menyangkut aspek kognitif, psikomotor, dan afektif. Walaupun permainan matematika menyenangkan, penggunaannya harus dibatsi. Barangkali sekali-kali dapat juga diberikan untuk mengisi waktu, mengubah suasana yang tegang / “tekanan tinggi”, menimbulkan minat, dan sejenisnya. Seharusnya direncanakan dengan tujuan instruksional yang jelas, tepat penggunaannya, dan tepat pula waktunya. Permainan yang mengandung nilai-nilai matematika dapat meningkatkan keterampilan, penanaman konsep, pemahaman, dan pemantapannya; meningkatkan kemampuan menemukan, memecahkan masalah, dan lain-lainnya. Yang begini harus banyak dipakai, terpadu dengan kegiatan belajar mengajar. Ketika anak-anak mulai belajar koordinat, permainan yang menyangkut koordinat dapat diberikan. 
 7. Teori Van Hiele mengemukakan bahwa dalam belajar Geometri, seseorang akan melalui lima tingkatan hirarkis (Visualization, analysis, abstraction, deduction, rigor). Siswa yang didukung dengan pembelajaran yang tepat, akan melewati lima tingkatan tersebut, dimana siswa tidak dapat mencapai satu tingkatan pemikiran tanpa melewati tingkatan sebelumnya. Setiap tingkatan menunjukkan kemampuan berfikir yang digunakan seseorang dalam belajar konsep geometri. Jelaskan lima tingkatan tersebut dan implementasikan setiap tingkatan ke dalam konsep geometri! Tingkat (Visualization). Tingkat ini sering disebut pengenalan(recognition). 
                          Pada tahap ini, siswa sudah mengenal konsep -konsep dasar geometri yaitu bangun-bangun yang sederhana seperti persegi, segitiga, persegi panjang, jajar genjang dan lain -lain. Siswa mengenal suatu bangun geometri sebagai keseluruhan berdasarkan pertimbangan visual, ia belum menyadari adanya sifat-sifat dari bangun geometri itu. Implementasinya kedalam Konsep Geometri adalah : Misalnya, seorang siswa sudah mengenal persegi dengan baik, bila ia sudah bisa menunjukkan atau memilih persegi dari tumpukan benda-benda geometri lainnya. Dalam tingkat ini, siswa tidak akan bisa menjawab pertanyaan -pertanyaan mengenai sifat-sifat persegi, bahwa persegi itu: semua sisinya sama panjang, ked ua diagonalnya sama panjang dan satu sama lain tegak lurus, dan lain-lain. Siswa pada tingkat ini tidak dapat dipaksakan untuk memahami sifat-sifat konsep geometri. Sebab bila dipaksakan, maka sifat-sifat konsep geometri yang diberikan itu akan diterima melalui hafalan. Tingkat (Analisis). Pada tingkat ini, siswa sudah memahami sifat –sifat konsep atau bangun geometri berdasarkan analisis informal tentang bagian dan atribut komponennya. Implementasinya kedalam Konsep Geometri adalah : Misalnya, siswa sudah mengetahui dan mengenal sisi –sisi berhadapan sebuah persegipanjang adalah sama panjang, panjang kedua diagonalnya sama panjang dan memotong satu sama lain sama panjang. Tetapi ia belum dapat memahami hubungan antara bangun -bangun geometri, misalnya persegi adalah juga persegi panjang, pe rsegipanjang adalah juga jajargenjang. Tingkat (Abstraction). Tingkat ini sering disebut juga pengurutan (ordering) atau deduksi informal (informal deduction). Pada tahap ini, siswa mengurut secara logis sifat-sifat konsep, membentuk definisi abstrak dan dapat membedakan himpunan sifat-sifat yang merupakan syarat perlu dan cukup dalam menentukan suatu konsep. Jadi, pada tingkat ini siswa sudah memahami pengurutan bangun-bangun geometri, Implementasinya kedalam Konsep Geometri adalah : misalnya persegi adalah juga persegipanjang, persegipanjang adalah juga jaja rgenjang, persegi adalah juga belah ketupat, belah ketupat adalah juga jajargenjang. Walaupun begitu, siswa pada tingkat ini berpikir secara deduktif informal. Karena itu dalam mengenal bahwa panjang kedua diagonal persegi panjang sama, mungkin ia belum dapat menjelaskannya mengapa sama panjang. Tingkat (Deduction). Pada tingkat ini, berpikir deduktif siswa sudah mulai berkembang, tetapi belum berkembang dengan baik. Dapat memahami pentingnya penalaran deduksi. Geometri adalah ilmu deduktif. Karena itu pengambilan kesimpulan, pembuktian teorema, dan lain -lain harus dilakukan secara deduktif. Implementasinya kedalam Konsep Geometri adalah : Misalnya, mengambil kesimpulan bahwa jumlah sudut –sudut sebuah segitiga adalah 1800; hal ini belum tuntas bila hanya dengan cara induktif, misalnya dengan memotong-motong sudut-sudut benda segitiga dan menunjukkan bahwa ketiga sudutnya itu membentuk sebuah sudut lurus. Tetapi harus membuktikannya secara deduktif, misalnya dengan menggunakan prinsip kesejajaran. Pada tingkat ini, siswa sudah dapat memahami pentingnya un surunsur yang tidak didefinisikan (undefined terms), aksioma, definisi dan teorema. Walaupun ia belum bisa mengerti mengapa sesuatu itu dijadikan aksioma atau teorema. Tingkat (Rigor). Pada tingkat ini, siswa sudah dapat memahami pentingnya ketepatan dari apa-apa yang mendasar. Implementasinya kedalam Konsep Geometri adalah : Misalnya, ketepatan dari aksioma-aksioma yang menyebabkan terjadi geometri Euclides. Siswa memahami apa itu geometri Euclides dan apa itu geometri non -Euclides. Tingkat ini merupakan tingkat berpikir yang kedalamannya serupa d engan yang dimiliki oleh seorang ahli matematika. 
8. Selama kamu menjalani pendidikan di tingkat sekolah dasar dan tingkat sekolah menengah, kamu pasti pernah mengalami kendala-kendala dalam belajar matematika terutama dalam menyelesaikan soal, yang mengakibatkan kegagalan atau setidak-tidaknya menjadikan gangguan dalam kemajuan belajar matematika. Kemukakanlah!
 a. Penyebab kesulitan belajar matematika yang kamu hadapi! Apa langkah yang kamu ambil untuk mengatasi kesulitan belajar yang kamu hadapi!
                          Penyebab kesulitan belajar matematika yang saya hadapi adalah ketika saya duduk dibangku SMP , saya lupa akan rumus-rumus mengenai bangun datar seperti limas kerucut dan sebagainya dikarenakan pada waktu saya duduk di bangku SD saya hanya menerapkan pembelajaran hafalan, bukan lah pembelajaran bermakna, akibatnya dalam waktu yang sebentar saja , materi yang dulu pernah saya kuasai, menjadi lupa dengan sendirinya. Untuk itu saya memikirikan bagaimana mengantisipasi, yaitu dengan mengubah pola pembelajaran matematika dari pembelajaran hafalan ke pembelajaran bermakna, Alhamdulillah pembelajaran ini berfungsi untuk diri saya, sampai saya duduk dibangku kuliah, saya tetap menerapkan pembelajaran bermakna 
b. Sebagai calon guru yang akan terjun langsung ke dunia pendidikan. Apabila kamu telah menjadi seorang guru, bagaimana teknik mendiagnosis kesulitan belajar siswa? Apa langkah-langkah yang dapat diambil guru dalam mengatasi kesulitan belajar siswa? Implementasikan langkah-langkah tersebut ke dalam materi matematika!
                       Adapun langkah-langkah yang dapat diambil guru dalam mengatasi kesulitan belajar siswa yaitu seorang guru terlebih dahulu harus memahami factor kesulitan yang dialami oleh siswa , diantara factor berikut serta mengatasi adalah sebagai berikut: Setiap guru mendambakan para siswanya dapat belajar dengan baik. Namun kenyataannya tidaklah demikian. Sehingga guru mungkin pernah menemui atau mengalami beberapa siswa yang selalu membikin ulah, selalu mengacau, rendah diri, malas, lambat menghafal, ataupun membenci mata pelajaran IPA, Matematika, ataupun Bahasa Inggris. Di sisi lain ada siswa yang biasa ceria tetapi dengan tiba-tiba saja menjadi murung dan malas belajar. Pertanyaan yang mungkin muncul adalah, mengapa hal seperti itu dapat terjadi? Kenyataan-kenyataan ini menunjukkan bahwa siswa dapat mengalami hal-hal yang menyebabkan ia tidak dapat belajar atau melakukan kegiatan selama proses pembelajaran sedang berlangsung. Mungkin juga, si siswa dapat belajar atau melakukan kegiatan selama proses pembelajaran sedang berlangsung, namun tidak maksimal. Faktor penyebabnya dapat berasal dari dalam diri si anak sendiri dan dapat juga dari luar. Pada contoh pertama, seorang anak mengalami hambatan belajar yang disebabkan oleh faktor penglihatan yang kurang baik, sedangkan pada contoh kedua, hambatan belajar tersebut lebih disebabkan oleh faktor kejiwaan pada diri anak tersbut. Para ahli seperti Cooney, Davis & Henderson (1975) telah mengidentifikasikan beberapa faktor penyebab kesulitan tersebut, di antaranya:  1. FAKTOR FISIOLOGIS Faktor-faktor yang menjadi penyebab kesulitan belajar siswa ini berkait dengan kurang berfungsinya otak, susunan syaraf ataupun bagian-bagian tubuh lain. Para guru harus menyadari bahwa hal yang paling berperan pada waktu belajar adalah kesiapan otak dan sistem syaraf dalam menerima, memroses, menyimpan, ataupun memunculkan kembali informasi yang sudah disimpan. Kalau ada bagian yang tidak beres pada bagian tertentu dari otak seorang siswa, maka dengan sendirinya si siswa akan mengalami kesulitan belajar. Bayangkan kalau sistem syaraf atau otak anak kita karena sesuatu dan lain hal kurang berfungsi secara sempurna. Akibatnya ia akan mengalami hambatan ketika belajar. Di samping itu, siswa yang sakit-sakitan, tidak makan pagi, kurang baik pendengaran, penglihatan ataupun pengucapannya sedikit banyak akan menghadapi kesulitan belajar. Untuk menghindari hal tersebut dan untuk membantu siswanya, seorang guru hendaknya memperhatikan hal-hal yang berkait dengan kesulitan siswa ini. Seorang siswa dengan pendengaran ataupun penglihatan yang kurang baik, sebaiknya menempati tempat di bagian depan. Untuk para orang tua, terutama ibu, makanan selama masa kehamilan akan sangat menentukan pertumbuhan dan perkembangan fisik putra-putrinya . Makanan yang dapat membantu pertumbuhan otak dan sistem syaraf bayi yang masih di dalam kandungan haruslah menjadi perhatian para orang tua. 
 2. FAKTOR SOSIAL Merupakan suatu kenyataan yang tidak dapat dibantah jika orang tua dan masyarakat sekeliling sedikit banyak akan berpengaruh terhadap kegiatan belajar dan kecerdasan siswa sebagaimana ada yang menyatakan bahwa sekolah adalah cerminan masyarakat dan anak adalah gambaran orang tuanya. Oleh karena itu ada beberapa faktor penyebab kesulitan belajar yang berkait dengan sikap dan keadaan keluarga serta masyarakat sekeliling yang kurang mendukung siswa tersebut untuk belajar sepenuh hati. Sebagai contoh, orang tua yang sering menyatakan bahwa Bahasa Inggris adalah bahasa setan (karena sulit) akan dapat menurunkan kemauan anaknya unutuk belajar bahasa pergaulan internasional itu. Kalau ia tidak menguasai bahan tersebut ia akan mengatakan “ Ah Bapak saya tidak bisa juga.” Untuk itu, setiap guru tidak seharusnya menyatakan sulitnya mata pelajaran tertentu di depan siswanya. Tetangga yang mengatakan sekolah tidak penting karena banyak sarjana menganggur, masyarakat yang selalu minum-minuman keras dan melawan hukum, orang tua yang selalu marah, nonton TV setiap saat, tidak terbuka ataupun kurang menyayangi anaknya dengan sepenuh hati dapat merupakan contoh dari beberapa faktor sosial yang menjadi penyebab kesulitan belajar siswa. Intinya, lingkungan di sekitar siswa harus dapat membantu mereka untuk belajar semaksimal mungkin selama mereka belajar di sekolah. Dengan cara seperti ini, lingkungan dan sekolah akan membantu para siswa, harapan bangsa ini untuk berkembang dan bertumbuh menjadi lebih cerdas. Siswa dengan kemampuan cukup seharusnya dapat dikembangkan menjadi siswa berkemampuan baik, yang berkemampuan kurang dapat dikembangkan menjadi berkemampuan cukup. Sekali lagi, orang tua, guru, dan masyarakat, secara sengaja atau tidak sengaja, dapat menyebabkan kesulitan bagi siswa. Karenanya, peran orang tua dan guru dalam membentengi para siswa dari pengaruh negatif masyarakat sekitar, di samping perannya dalam memotivasi para siswa untuk tetap belajar menjadi sangat menentukan. 
 3. FAKTOR KEJIWAAN Faktor-faktor yang menjadi penyebab kesulitan belajar siswa ini berkait dengan kurang mendukungnya perasaan hati (emosi) siswa unutuk belajar secara sungguh-sungguh. Sebagai contoh, ada siswa yang tidak suka mata pelajaran tertentu karena ia selalu gagal mempelajari mata pelajaran itu. Jika hal ini terjadi, siswa tersebut akan mengalami kesulitan belajar yang sangat berat. Hal ini merupakan contoh dari faktor emosi yang menyebabkan kesulitan belajar. Contoh lain adalah siswa yang rendah diri, siswa yang ditinggalkan orang yang paling disayangi dan menjadikannya sedih berkepanjangan akan mempengaruhi proses belajar dan dapat menjadi faktor penyebab kesulitan belajarnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa anak yang dapat mempelajari suatu mata pelajaran dengan baik akan menyenangi mata pelajaran tersebut. Begitu juga sebaliknya, anak yang tidak menyenangi suatu mata pelajaran biasanya tidak atau kurang berhasil mempelajari mata pelajaran tersebut. Karenanya, tugas utama yang sangat menentukan bagi seorang guru adalah bagaimana membantu siswanya sehingga mereka dapat mempelajari setiap materi dengan baik. Yang perlu mendapatkan perhatian juga, hukuman yang diberikan seorang guru dapat menyebabkan siswanya lebih giat belajar, namun dapat juga menyebabkan mereka tidak menyukai guru mata pelajaran tersebut. Dapat juga terjadi, si siswa lalu membenci sama sekali mata pelajaran yang diasuh guru tersebut. Kalau hal seperti ini yang terjadi, tentunya akan sangat merugikan si siswa tersebut. Peran guru memang sangat menentukan. Seorang siswa yang pada hari kemarinnya hanya mampu mengerjakan 3 dari 10 soal dengan benar, lalu dua hari kemudian ia hanya mampu mengerjakan 4 dari 10 soal dengan benar, gurunya harus menghargai kemajuan tersebut. Guru hendaknya jangan hanya melihat hasilnya saja, namun hendaknya menghargai usaha kerasnya. Dengan cara seperti ini, diharapkan si siswa akan lebih berusaha lagi. Intinya, tindakan seorang guru dapat mempengaruhi perasaan dan emosi siswanya. Tindakan tersebut dapat menjadikan seorang siswa menjadi lebih baik, namun dapat juga menjadikan seorang siswa menjadi tidak mau lagi untuk belajar suatu mata pelajaran. 
 4. FAKTOR INTELEKTUAL Faktor-faktor yang menjadi penyebab kesulitan belajar siswa ini berkait dengan kurang sempurna atau kurang normalnya tingkat kecerdasan siswa. Para guru harus meyakini bahwa setiap siswa mempunyai tingkat kecerdasan berbeda. Ada siswa yang sangat sulit menghafal sesuatu, ada yang sangat lamban menguasai materi tertentu, ada yang tidak memiliki pengetahuan prasyarat dan juga ada yang sangat sulit membayangkan dan bernalar. Hal-hal yang disebutkan tadi dapat menjadi faktor penyebab kesulitan belajar pada diri siswa tersebut. Di samping itu, hal yang perlu mendapatkan perhatian adalah para siswa yang tidak memiliki pengetahuan prasyarat. Ketika sedang belajar matematika atau IPA, ada siswa SLTP yang tidak dapat menentukan hasil 1/2 + 1/3, (–5) + 9, ataupun 1 : ½. Siswa seperti itu, tentunya akan mengalami kesulitan karena materi terebut menjadi pengetahuan prasyarat untuk mempelajari matematika ataupun IPA SLTP. Untuk menghindari hal tersebut, Bapak atau Ibu Guru hendaknya mengecek dan membantu siswanya menguasai pengetahuan prasyarat tersebut sehingga mereka dapat mempelajari materi baru dengan lebih baik. 
 5. FAKTOR KEPENDIDIKAN Faktor-faktor yang menjadi penyebab kesulitan belajar siswa ini berkait dengan belum mantapnya lembaga pendidikan secara umum. Guru yang selalu meremehkan siswa, guru yang tidak bisa memotivasi siswa untuk belajar lebih giat, guru yang membiarkan siswanya melakukan hal-hal yang salah, guru yang tidak pernah memeriksa pekerjaan siswa, sekolah yang membiarkan para siswa bolos tanpa ada sanksi tertentu, adalah contoh dari faktor-faktor penyebab kesulitan dan pada akhirnya akan menyebabkan ketidak berhasilan siswa tersebut. Berdasar penjelasan di atas, Bapak dan Ibu Guru sudah seharusnya menyadari akan adanya beberapa siswa yang mengalami kesulitan atau kurang berhasil dalam proses pembelajarannya. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor tertentu, sehingga mereka tidak dapat belajar dan kurang berusaha sesuai dengan kekuatan mereka. Idealnya, setiap guru harus berusaha dengan sekuat tenaga untuk membantu siswanya keluar dari setiap kesulitan yang menghimpitnya. Namun hal yang perlu diingat, penyebab kesulitan itu dapat berbeda-beda. Ada yang karena faktor emosi seperti ditinggal saudara kandung tersayang ataupun karena faktor fisiologis seperti pendengaran yang kurang. Untuk itu, para guru harus mampu mengidentifikasi kesulitan dan penyebabnya lebih dahulu sebelum berusaha untuk mencarikan jalan pemecahannya. Pemecahan masalah kesulitan belajar siswa sangat tergantung pada keberhasilan menentukan penyebab kesulitan tersebut. Sebagai contoh, siswa A yang memiliki kesulitan karena penglihatan atau pendengaran yang kurang sempurna hanya dapat dibantu dengan alat optik atau alat elektronik tertentu dan mereka diharuskan duduk di bangku depan. Namun para siswa yang mengalami kesulitan belajar karena faktor lingkungan dan faktor emosi tidak memerlukan kacamata seperti yang dibutuhkan siswa A namun mereka membutuhkan bantuan dan motivasi lebih dari gurunya. Pengalaman sebagai guru telah menunjukkan bahwa ada siswa yang sering membuat ulah di kelas dengan maksud agar diperhatikan guru dan temannya. Setelah diselidiki ternyata ia kurang mendapat perhatian orang tuanya. Untuk anak seperti ini, sudah seharusnya para guru lebih memberikan perhatian dan kasih sayang. Sekali lagi, kesabaran, ketekunan dan ketelatenan para guru sangat diharapkan di dalam menangani siswa yang mengalami kesulitan belajar. Guru dapat menyarankan orang tua siswa tertentu untuk memberi tambahan pelajaran khusus di sore hari untuk siswa yang lamban. Yang lebih penting dan sangat menentukan adalah peran guru pemandu, kepala sekolah, pengawas maupun Kepala Kantor Depdiknas di dalam menangani kesulitan belajar siswa yang disebabkan oleh faktor-faktor kependidikan. Pada akhirnya penulis meyakini bahwa pengetahuan tentang faktor-faktor penyebab kesulitan belajar ini akan sangat bermafaat bagi Bapak dan Ibu Guru. Dengan membaca tulisan ini, diharapkan para guru akan mengetahui, selanjutnya dapat menggunakan pengetahuan tersebut dalam PBM terutama ketika ia sedang mendiagnosis kesulitan belajar siswa. Pada akhirnya, mudah-mudahan usaha setiap jajaran Depdiknas untuk mencerdaskan kehidupan bangsa akan berhasil dengan gemilang.